Permusuhan Masyumi dengan PKI dan PNI di Pemilu 1955

Permusuhan Masyumi dengan PKI dan PNI di Pemilu 1955

1028
0
SHARE
Pemilu 1955. (Arsip RI).

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Pemilu 1955. (Arsip RI).
Pemilu 1955. (Arsip RI).

Tak dahulu tak sekarang, panitia pemilu selalu jadi sumber keluhan. Sorotan tajam terhadap pilkada serentak 2017, khususnya Pilgub DKI Jakarta, datang bertubi-tubi. Seperti surat suara, hingga kasus dua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Keadaan ini, sekalipun tak seperti pemilu mendatang, juga dialami Pemilu 1955 yang juga diikuti puluhan partai. Kala itu, yang berlangsung 29 September 1955 ditangani Panitia Pemilihan Indonesia (PPI).

Harian Trompet Masjarakat misalnya, melancarkan kritik cukup menyengat terhadap cara kerja PPI. “Perlu dijewer kupingnya,” tulis harian itu 28 September 1955.

“Di Jakarta Raya saja, sampai 27 September 1955 (dua hari jelang pemilu) masih banyak orang yang belum mendapat surat panggilan. Di samping banyak yang namanya ditulis salah. Kalau di Jakarta saja keadaannya sudah begini, bagaimana dengan daerah lain.”

“Rupanya orang-orang yang duduk dalam PPI terlalu banyak percaya pada laporan-laporan yang masuk, tetapi tidak menanyakan dengan kepala sendiri,” tulis harian ini mengenai banyaknya orang yang belum mendapat panggilan ke TPS-TPS. Yang menuduh orang-orang PPI lebih banyak kerja di belakang meja sembari ongkang-ongkang kaki, tulis Trompet Masjarakat dalam ejaan yang berlaku saat itu.

Surat-surat kabar juga memberitakan suasana hari terakhir kampanye di Jakarta yang berakhir 24 September 1955 hingga pukul 24.00. Waktu itu memang tidak ada jadwal kampanye dari masing-masing parpol seperti yang ditetapkan sekarang dan enam pemilu di Orde Baru. Partai-partai besar saat itu seenaknya saja berkampanye sewaktu-waktu, tanpa ada pembatasan.

Hari terakhir ini dimanfaatkan parpol-parpol untuk berkampanye hingga tengah malam. Tanpa pawai dan arak-arakan seperti sekarang, para juru kampanye dengan bermobil –ada juga yang naik delman dan becak– mendatangi kampung-kampung.

Para jurkam itu berkeliling sambil berteriak-teriak lewat corong atau pengeras suara mengemukakan program untuk menarik para pemilih. Siang harinya beberapa parpol menggelar rapat umum di berbagai tempat dan lapangan.

Antusiasme masyarakat Jakarta menyambut kampanye tergambar dalam laporan harian Pemandangan. “Rakyat di kampung-kampung banyak yang berbondong-bondong menyaksikan berdatangannya mobil-mobil kampanye. Mobil-mobil itu dilengkapi dengan pengeras suara dan masing-masing saling mengemukakan program partainya.”

Pada masa kampanye para pimpinan parpol lebih sering turun ke kampung-kampung untuk berbicara langsung dengan simpatisannya. “Saya menyaksikan sendiri saat-saat Mohammad Natsir (Masyumi), Sukarni (Murba), dan Sutan Syahrir (PSI) datang ke kampung Kwitang. Mereka berbincang-bincang dan bersalaman dengan orang kampung, bahkan menyalami tukang becak,” kata Mohammad Yusuf Rausin, penduduk kampung ini mengenang peristiwa kampanye Pemilu 1955.

Waktu itu, kampanye di kampung-kampung dianggap lebih efektif. Juga ketua CC PKI DN Aidit, berkampanye ke kampung-kampung yang banyak simpatisan komunisnya. Antara memberitakan, Alimin, tokoh tua PKI pada 10 September berkampanye di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.

Yang perlu diacungkan jempol adalah dalam Pemilu 1955 tidak terjadi kerusuhan-kerusuhan seperti pemilu-pemilu sesudahnya. Ini bukan berarti tidak ada persaingan keras antarparpol. Apalagi para jurkam masing-masing kontestan diberikan kewenangan leluasa untuk untuk menyampaikan program-program partainya. Yang kadang-kadang menjurus pada agitasi dan secara sengit menyerang parpol yang jadi lawan politiknya.

‘Permusuhan’ paling keras dalam masa-masa kampanye terjadi antara Masyumi dan PKI. Juga antara Masyumi dan PNI. Pernah kampanye Masyumi di pelabuhan Tanjung Priok tiba-tiba pengeras suaranya mati disabotase buruh-buruh pelabuhan yang sebagian besar simpatisan PKI.

Waktu itu para jurkam menonjolkan arti dan ciri-ciri tanda gambar mereka masing-masing. Seperti PNI membanggakan tanda gambar bantengnya. Banteng digambarkan jurkam PNI sebagai binatang yang telah lama menjadi lambang kaum nasionalis di Indonesia.

Rakyat Indonesia, seperti juga yang sering diungkapkan Bung Karno seperti banteng, sabar dan tidak cepat marah. Tetapi kalau marah akan mengamuk tanpa ampun.

Sedangkan jurkam NU mempunyai banyak tafsiran tentang tanda gambar mereka: bola bumi yang dikelingi sampul dengan sembilan bintang di pinggirnya, yang ditafsirkan melambangkan Wali Songo, sembilan wali yang menjadi penyebar Islam di Indonesia.

Demikian juga Masyumi dengan bulan bintangnya yang digambarkan tidak pernah putus-putusnya menyinari bumi sepanjang hari. Ejekan kepada simpatisan partai lain yang bernada miring biasa dilontarkan pemuda-pemuda Jakarta ketika itu. Orang PKI, misalnya, bilang: “Jangan pilih Masyumi, nanti Lapangan Banteng diubah menjadi Lapangan Onta.”

Dijawab simpatisan Masyumi dengan ejekan: “Jangan pilih PKI, nanti Lapangan Banteng diubah jadi Lapangan Merah (nama Lapangan Kremlin di Moskow).”

Di Pemilu 1955 yang dinilai sangat demokratis, ternyata mendapat perhatian besar dari pers asing, khususnya pers Barat. Mereka meramalkan Masyumi akan mendapat kemenangan meyakinkan. Kemudian disusul PNI, PKI, dan PSI.

Tapi, PKI mendapatkan suara demikian besar terutama di Jawa Tengah. Partai komunis ini mendapat 47 kursi, padahal di parlemen sementara hanya 17 kursi. NU yang baru memisahkan diri dari Masyumi menyabet 47 kursi, dan unggul di dua provinsi: Jatim dan Kalsel. Masyumi dan PNI sama-sama meraup 58 kursi.

**********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY