Perlambatan Ekonomi: Gejala Apa?

Perlambatan Ekonomi: Gejala Apa?

585
0
SHARE
Sunarsip. (Foto: istimewa).

Senin 20 May 2019 10:04 WIB
Red: Elba Damhuri

Sunarsip. (Foto: istimewa).

“Pada kuartal I 2019, ekonomi kita tumbuh 5,07 persen”

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip

Dalam dua pekan pertama Mei ini, kita kurang mendengar berita positif yang mewarnai perekonomian kita. Pada 6 Mei lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan rilisnya terkait pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I 2019. Hasilnya, ekonomi kita tumbuh 5,07 persen (year on year/yoy).

Angka 5,07 persen tersebut di bawah ekspektasi para analis yang memproyeksikan ekonomi pada kuartal I 2019 bisa tumbuh di atas itu. Kemudian, pada 15 Mei, BPS mengumumkan kinerja neraca perdagangan kita pada April yang mencatat defisit 2,5 miliar dolar AS yang konon merupakan angka defisit terbesar sepanjang sejarah republik ini berdiri.

Kabar domestik yang kurang menggembirakan ini juga menghadapi momentum eksternal yang tidak kondusif. Eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina kembali memanas. Kondisi ini memicu terjadinya peralihan modal (capital outflow) dari negara berkembang (emerging markets) ke negara-negara maju (advanced economic).

Akibatnya, sebagian besar mata uang di dunia melemah terhadap dolar AS. Kombinasi kondisi domestik dan eksternal yang kurang menguntungkan ini tak terelakkan menjadi pemicu sentimen negatif di pasar keuangan. Nilai tukar rupiah selama Mei ini ikut melemah. Pada akhir pekan lalu, rupiah menyentuh level Rp 14.469 per dolar AS, hampir sama dengan level pada awal 2019.

Kinerja ekonomi kuartal I 2019 yang tumbuh 5,07 persen adalah capaian yang sebenarnya di bawah harapan (under expected). Pemerintah “telah telanjur” mematok “target” pertumbuhan ekonomi 5,4 persen pada APBN 2019.

Padahal, sumber daya (resources) yang digunakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebenarnya cukup besar, baik melalui pembiayaan APBN (termasuk BUMN). Sehingga, tidak mengherankan bila timbul pertanyaan: apakah daya dorong fiskal kita telah makin melemah?

Bila kita mencermati komponen pembentuk PDB, terlihat bahwa komponen konsumsi pemerintah mengalami pertumbuhan tertinggi pada kuartal I 2019, yaitu 5,21 persen (yoy). Sayangnya, pertumbuhan komponen lainnya cenderung melambat.

Konsumsi rumah tangga dan investasi yang memiliki pangsa terbesar sebagai pembentuk PDB, sekitar 87 persen dari PDB, masing-masing hanya tumbuh 5,01 persen (yoy) dan 5,03 persen (yoy). Ekspor bahkan tumbuh negatif -2,08 persen (yoy).

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa sumber pelemahan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2019 lebih banyak muncul dari sektor swasta, baik korporasi maupun rumah tangga. Rendahnya pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas turut memberikan dampak bagi perlambatan pertumbuhan PDB kuartal I 2019.
Transmisinya adalah pelemahan ekonomi global dan harga komoditas menyebabkan ekspor melemah yang berpengaruh pada melambatnya konsumsi rumah tangga dan investasi.

Pelemahan kinerja pertumbuhan sektor swasta ini memang belum dapat disimpulkan telah terjadi penurunan kinerja sektor swasta secara struktural. Namun, bila tidak diantisipasi, perlambatan kinerja sektor swasta ini berpotensi menjadi penurunan kinerja secara strukrural terutama bila kita mendalami trennya dalam dua tahun terakhir. Bagaimana penjelasannya?

Pada 19 November 2018, di harian ini, saya menulis tentang pelemahan kinerja ekspor nonmigas dan pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi. Salah satu isu penting yang saya tulis adalah pelemahan kinerja ekspor nonmigas merupakan refleksi dari kinerja sektor riil.

Selama ini, ekspor nonmigas utamanya berasal dari sektor industri pengolahan (manufaktur). Terlihat bahwa pelemahan kinerja ekspor nonmigas saat ini berkorelasi dengan pelemahan pertumbuhan sektor manufaktur. Pada kuartal I 2019, sektor manufaktur hanya tumbuh 3,86 persen (yoy), angka pertumbuhan terendah kedua sejak 2011.

Penurunan kinerja sektor industri manufaktur ini sebenarnya sudah cukup lama terlihat indikasinya. Beberapa manufaktur besar yang bermukim di wilayah Jawa bagian barat (Jawa Barat dan Banten) kini telah banyak yang merelokasi pabriknya keluar dari Indonesia.

Pabrikan tersebut, antara lain industri elektronik dan tekstil. Penyebabnya adalah tingginya biaya produksi sebagai akibat tingginya biaya upah tenaga kerja serta melemahnya daya saing nilai tukar rupiah yang berdampak pada tingginya biaya impor bahan baku dan barang modal.

Sebagai akibat pelemahan kinerja sektor manufaktur, ekonomi Jawa sebagai lokasi utama sektor manufaktur, pertumbuhan ekonominya juga stagnan di level lima persen. Ekonomi Jawa tampak mulai kehabisan tenaga untuk mendorong pertumbuhannya.

Beruntung dalam dua tahun terakhir, ekonomi Jawa ditopang oleh pembangunan infrastruktur yang cukup masif sehingga relatif tidak terjadi perlambatan ekonomi. Sayangnya, karena multiplier effect infrastruktur terhadap penyerapan tenaga kerja terbatas, dampaknya terhadap peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga terbatas.

Kini, kegiatan pembangunan infrastruktur yang masif dapat dikatakan telah berkurang. Orientasi kebijakan pemerintah telah mulai bergeser. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah menyatakan bahwa pada 2019-2024 ini akan memfokuskan pada penguatan sumber daya manusia agar match dengan kebutuhan.

Itu artinya, fokus pemerintah bukan kepada pembangunan fisik. Kebijakan yang baik tentunya, tapi tetap memunculkan pertanyaannya terkait keberlanjutan pertumbuhan ekonomi khususnya di Jawa dan sektor manufaktur.

Perlambatan pertumbuhan sektor swasta juga dapat dideteksi dari kinerja sektor keuangan. Sejak akhir 2015, sektor korporasi sebenarnya mengalami deleveraging atau gejala menurunnya kemampuan perusahaan dalam berutang. Penyebabnya adalah terbatasnya ekspansi akibat perlambatan ekonomi dan tingginya biaya dana (cost of fund).

Di sisi lain, leveraging sektor pemerintah cenderung meningkat. Peningkatan leveraging pemerintah ini terutama dalam rangka percepatan infrastruktur, baik oleh pemerintah maupun tidak secara langsung melalui BUMN.

Sejumlah pihak berpendapat, peningkatan leveraging pemerintah turut menyebabkan terjadinya deleveraging korporasi (swasta). Agresivitas pemerintah (termasuk BUMN) dalam berutang menyebabkan dana masyarakat tertarik ke pemerintah (dan BUMN) melalui pasar modal. Implikasinya, sumber dana bagi swasta menjadi terbatas dan lebih mahal.

Kondisi inilah yang memunculkan dugaan telah terjadi crowding out effect. Secara sederhana, crowding out effect adalah fenomena di mana upaya pemerintah yang ingin mendorong pertumbuhan PDB melalui peningkatan pembiayaan APBN (baca: utang) justru kontraproduktif bagi pertumbuhan PDB itu sendiri karena ekspansi swasta menjadi terhambat akibat tingginya biaya dana.

Berdasarkan analisis di atas, terlihat bahwa perlambatan pertumbuhan sektor swasta ini dapat berpotensi menjadi penurunan kinerja secara strukrural. Dalam jangka pendek, upaya mendorong permintaan domestik dari sisi investasi, khususnya investasi swasta perlu disiapkan. Hal ini terutama untuk memitigasi dampak negatif dari belum pulihnya kinerja ekspor.

Dalam jangka panjang, perlu dipikirkan upaya membangun kembali kejayaan sektor manufaktur sebagai kompensasi atas mulai redupnya manufaktur di Jawa. Strateginya adalah membangun pusat-pusat manufaktur baru di luar Jawa, terutama yang berbasis sumber daya alam (resourced based industry). Tidak hanya manufaktur, sektor pariwisata juga potensial untuk dikembangkan menjadi lokomotif pertumbuhan, baik di Jawa maupun luar Jawa.

********
Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY