Perikanan 2016: Dekonstruksi atau Rekonstruksi?

Perikanan 2016: Dekonstruksi atau Rekonstruksi?

693
0
SHARE

Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB, Anggota Dewan Kelautan Indonesia

Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Selasa, 05/01 – 2016 ).

Ilustrasi. Teronggok Bisu Nyaris Menjadi Sarang Hantu.
Ilustrasi. Teronggok Bisu Nyaris Menjadi Sarang Hantu.

Setahun sudah pemerintah Presiden Joko Widodo menggebrak sektor kelautan dan perikanan. Pro-kontra menyertai langkah Susi Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan yang diawali dengan penerbitan Peraturan Menteri Nomor 56/2014 dan 57/2014, yang masing-masing mengatur tentang moratorium izin kapal eks asing dan pelarangan alih muatan (transshipment).

Setelah itu, muncul Peraturan Menteri Nomor 1/2015 dan 2/2015 tentang pelarangan pukat hela dan pukat karena keduanya merupakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Belum reda hiruk-pikuk yang menyertai kebijakan tersebut, muncul kebijakan menaikkan pungutan hasil perikanan sebanyak 25 persen dari sebelumnya hanya 2,5 persen. Bagaimana kita melihat fenomena 2015 ini serta prospek kelautan dan perikanan pada 2016?

Apa yang dilakukan Susi sebenarnya merupakan implementasi program Jokowi dalam kampanye. Betapa Jokowi geram terhadap praktek illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU-F). Peraturan Menteri 56/2014 diikuti dengan langkah evaluasi terhadap 1.132 kapal eks asing yang diduga berpotensi melakukan kegiatan IUU-F.

Ternyata mereka seratus persen terbukti melakukan pelanggaran—baik ringan maupun berat, baik bersifat administratif maupun tindak kejahatan—seperti menggunakan kapten dan anak buah kapal asing (67 persen), melakukan alih muatan ilegal (37 persen), mematikan sistem pemantauan kapal perikanan (VMS) (73 persen), mengekspor tanpa dokumen (37 persen), melakukan perdagangan manusia dan perbudakan (10 persen), dan bertransaksi bahan bakar minyak ilegal (23 persen).

Sanksi yang dijatuhkan bervariasi, dari sanksi administratif hingga pidana. Bahkan ada pula kapal yang ditenggelamkan, yang selama setahun mencapai 107 kapal.

Hampir setahun 1.132 kapal tidak beroperasi. Hal ini tentu menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha. Namun kebijakan itu membawa berkah bagi kapal-kapal dalam negeri baik skala kecil maupun menengah yang beroperasi di wilayah yang dulu merupakan tempat beroperasi kapal asing atau eks asing. Produktivitas mereka cenderung meningkat. Misalnya di Sorong terjadi peningkatan hingga 56,5 persen, di Ambon 48,1 persen, di Bintan 35 persen, dan di Bitung 6,6 persen.

Adapun pelarangan pukat sebenarnya merupakan penegasan Keputusan Presiden Nomor 39/1980 tentang pelarangan pukat harimau yang hingga saat ini belum dicabut. Hanya, kini pukat tersebut mengalami serangkaian modifikasi.

Sebenarnya di Jawa Tengah sudah ada komitmen untuk menghentikan praktek itu, tapi yang terjadi malah peningkatan jumlah dan bahkan manipulasi ukuran kapal (mark-down) untuk menghindari pengurusan izin di pemerintah pusat.

Saat ini Ombudsman meminta ada masa transisi dua tahun, sehingga ada kesempatan bagi pemilik alat tangkap tersebut untuk beralih ke alat tangkap lain.

Berbagai kebijakan tersebut bisa dikatakan sebagai kebijakan dekonstruksi, yang bersifat “rem” dan merupakan langkah tegas untuk mewujudkan kedaulatan bangsa serta keberlanjutan sumber daya. Kejutan ini penting untuk menanggulangi isu IUU-F yang seolah-olah sulit diatasi.

Apa yang dilakukan Susi merupakan pilihan politik untuk memulai era baru perikanan dan kelautan.

Bagaimana gambaran kebijakan dan program 2016? Tampaknya paket “rem” itu sudah cukup. Kini pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan rekonstruksi yang bersifat “gas”. Ini penting untuk meningkatkan peran sektor perikanan dalam pembangunan ekonomi. Ada sejumlah langkah langsung yang penting dilakukan pemerintah sebagai upaya rekonstruksi.

Pertama, perbaikan tata kelola perikanan, dari penyempurnaan sistem perizinan perikanan yang kondusif hingga pengawasan terpadu yang efektif. Kedua, modernisasi perikanan dengan peningkatan kapasitas armada perikanan yang selama ini didominasi nelayan tradisional yang bersifat harian (60-93 persen).

Juga perlu ada teknologi pendukung karena selama ini hanya 0,04-15 persen nelayan yang menggunakan alat tersebut.

Ketiga, pengembangan sentra perikanan yang mengintegrasikan hulu-hilir dengan penguatan sistem logistik ikan dan sistem rantai dingin terpadu. Di sinilah infrastruktur di daerah-daerah harus diperkuat, sehingga makin terbuka akses nelayan ke air bersih, listrik, bahan bakar, dan pasar. Peningkatan konektivitas wilayah timur dan barat pun diperlukan untuk menjamin pasokan ikan baik untuk pasar konsumsi maupun industri dengan harga yang kompetitif.

Keempat, skema pembiayaan perikanan berkelanjutan perlu didorong sehingga dunia perbankan atau lembaga pembiayaan menjadi bagian tak terpisahkan dari pendekatan perikanan berkelanjutan. Alokasi kredit perikanan hingga 2014 hanya 0,29 persen.

Langkah awal bisa diterapkan bagi pembiayaan usaha nelayan eks cantrang sehingga bisa kembali melaut dengan alat tangkap yang lebih baik. Juga untuk nelayan lain guna mengisi “kekosongan” wilayah perairan Arafura dan Laut Cina Selatan yang ditinggalkan kapal-kapal asing.

Kelima, perikanan budi daya harus didorong seiring dengan menurunnya stok ikan dunia. Namun peningkatan produksi perikanan budi daya harus diiringi dengan pengembangan industri pengolahan demi peningkatan nilai tambah khususnya rumput laut yang produksinya sangat melimpah.

Begitu pula gagasan Susi tentang kemandirian pakan yang perlu diterjemahkan ke dalam peta jalan pengembangan industri pakan secara sistematis dan terukur.

*********

Kolom/Artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY