Sabtu , 12 Agustus 2017, 05:00 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)
Namanya Scarlett O’Hara, 16 tahun, mewarisi tubuh bagus dari ayah Irlandia dengan balutan bangsawan Prancis dari ibunya. Gadis mekar itu sadar memiliki pesona, senang ia bisa memikat dan memberi harapan banyak pemuda, akhirnya banyak gadis lain yang iri dan sakit karena kekasihnya tergoda.
Novel ‘Gone With The Wind’ berkisah di tahun 1861, Scarlett adalah putri pemilik perkebunan “Tara”, diperkirakan 400 hektare dengan sekitar 100 budak pekerja. Scarlett bintang mekar di pesta, pakaian bagus, juga dansa. Banyak yang melamar, tapi ditangguhkannya. Betapa terkejutnya tatkala mendengar seseorang yang diincarnya, Ashley Wilkes, pemuda yang diyakini mencintainya, hendak menikah dengan Melanie Hamilton, sepupunya yang pendiam sekaligus rapuh.
Scarlett berusaha mencari Ashley, bertemu di perpustakaan. Scarlett menyatakan rahasianya, “Ya, rahasia. Aku cinta kamu.” Ashley membalas bahwa dia juga mencintai Scarlett, tapi menikahi Melanie karena mirip dirinya. Scarlet berpikir lain, mencintai diriku tapi tidak menikahiku? Itu karena rasa takut. Scarlet marah, “Engkau pengecut!” Tanpa berpikir dua kali Scarlett menampar Ashley !
Perang Saudara Amerika pecah, pihak selatan (Konfederasi) dengan pihak utara (Yankees). Scarlett menikah dengan Charles Hamilton yang dua bulan kemudian berangkat sebagai tentara Konfederasi, meninggal. Pernikahan yang pendek, dan di umur 17 menjadi janda dengan anak dirahimnya.
Kegundahan mengantarnya ke Atlanta, ke rumah Melanie. Menurut tata krama sosial, ia berkabung setahun. Tata krama itu diterjang, ia berdansa dengan Rhett Butler. Itu menjadi pergunjingan seluruh kota. Scarlett tak perduli.
Pertempuran akhirnya masuk kota Atlanta. Scarlett memutuskan kembali ke Tara bersama anaknya, Melanie dengan bayinya yang berumur sehari. Malam hari di antara kota yang terbakar, langit berwarna merah, tentara yang compang-camping bergerak mundur, ada gerobak dengan kuda kurus menuju Tara. Lewat hutan berpenghuni tentara desertir yang siap merampok atau berbuat apa saja. Roda gerobak yang terseok masuk parit, Scarlett mengangkatnya.
Sampai di Tara, rumah besar bergaya feodal itu lengang, telah dijarah total. Ibunya meninggal, ayahnya gila. Tak ada bahan makanan, tak ada budak yang diperintah, mereka sudah bebas meninggalkan Tara. Scarlett mengokohkan dirinya, harus kuat, bersamanya banyak mulut yang kelaparan. Telanjang kaki menyusuri tanah pertanian, tangannya mencabut kobis layu, mengais atau menggali bumi dengan jarinya mendapatkan lobak pedas yang terpendam.
Kesengsaraan dan berhari-hari sangat menyayatnya, Scarlett bersumpah: “Aku tak mau kelaparan lagi.” Tekatnya menggumpal ketika ada seorang Yankee masuk rumah lalu ke arah dapur. Di sana ada makanan yang dikumpulkan sampai kaki bengkak. Hanya untuk dua orang, tetapi harus dikunyah sembilan orang. Scarlet marah. Mengambil pistol, ketika keluar kamar ada teriakan keras, “Berhenti atau aku tembak!” Scarlet lalu berhenti, tegak dengan satu tangan di dekat paha dalam lipatan roknya. Yanke yang mencari-cari lalu melihat dirinya. “Sendirian, nona kecil?” Mungkin bernafsu, Yankee mendekati Scarlett.
Pistol meledak. Yankee desertir dan hendak merampok itu tergeletak, mati. Melani memandang Scarlett merogoh sakunya, ada uang. “Melanie, dengan uang berarti kita makan.” Yankee malang itu diseret Scarlett lalu dikuburnya, dangkal saja.
***
Novel itu yang ditulis 1936 memenangkan Pulitzer tahun berikutnya. Di jaman percetakaan masih manual, belum ada Online, rekornya adalah penjualan 50 ribu dalam satu hari, 1,5 juta kopi tahun pertama penerbitan.
Itu karena kegigihan sekaligus kelicinan Scarlett dalam kisah tersebut. Ketika Tara dikenai pajak yang tak mungkin dibayar, Scarlett mendatangi Frank Kennedy, kekasih Suellen, saudaranya. Mengatakan Suellen punya kekasih yang lain, Scarlett menikah dengan Frank yang memiliki toko besar. Pajak Tara beres, bahkan ia ikut terjun dalam bisnis penggergajian kayu. Kini ia kaya.
Melanie dan Ashley diminta pindah ke Atlanta, agar ikut mengurus bisnis kayu. Frank meninggal. Scarlet menikah dengan Rheet Buttler. Tetapi Scarlett tetap berkobar. Belakangan beredar kabar burung, suatu sore ia dipergoki berduaan dengan Ashley, pria yang dulu dirindukan ketika ia gadis, ketika sedang mekar. Rheet lalu meninggalkannya sendirian.
***
Scarlett menjadi sosok yang banyak dianalisis. Di antaranya, andaikan tidak ada perang, apakah ia tetap bertindak licin, gigih dan liar? Yang membela pasti berkata, Scarlett adalah sosok cerdas dan energik seperti ayahnya. Seiring kedewasaan ia akan menjadi lembut, sopan, sebagaimana ibunya. Dia memang senang pesta, tapi di penghujungnya ia tetap pulang ke rumah karena keluarga yang dicintainya.
Jadi, apakah perang yang dikambinghitamkan, situasi, dan kondisi yang disalahkan?
***
Sebagai seorang Muslim kita sadar bahwa dosa dan kesalahan tidak bisa ditimpakan kepada pihak lain. Situasi dan kondisi yang ada hanya sekedar “suasana”. Manusia dinilai seberapa jauh maksimum perjuangannya. Tak peduli situasi dan kondisinya, sulit atau gampang, sedang damai atau perang. Islam menegaskan, “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan ………”(QS.21:35).
Malaikat tidak menerima argumentasi seseorang bahwa kemiskinan membuat tidak mampu membeli kitab, sehingga ia tidak pernah belajar membaca Alauran. Juga tidak menerima alasan karena orang tuanya tidak pernah mengajarkan shalat, maka sampai mati yang dilakukannya hanya shalat ketika hari raya.
Kepada Fulan yang selalu melaksanakan sholat malaikat juga bertanya, kenapa tidak pernah berdakwah? Fulan balik bertanya : “Apakah itu wajib?” ; Malaikat menjawab, “Setiap Muslim wajib menyampaikan dan menegakkan Islam.” Fulan bergumam, “Saya tidak tahu.”
Malaikat siap melempar ke kobaran api. Fulan berteriak, “Apa dosa saya?” Lalu didengarnya, “Pertama dosa karena tidak berusaha mencari tahu.” Fulan terpana, tak menyangka bahwa jawaban “tidak tahu” itu dapat menimbulkan malapetaka, salah karena tidak ikhtiar mencari ilmu.
“Kedua, dosa karena anugerah fisik berupa otak, hati, mata, tangan, maupun kaki tidak dimanfaatkan untuk Allah, tapi untuk kepuasan diri sendiri. Ketiga, seperti dosa hal fisik tadi, dosa karena anugerah non fisik berupa kepandaian, pengalaman, kesehatan, daya ingat sampai daya imajinasi disagunakan. Keempat dosa anugerah berupa waktu yang disia-siakan. Kelima…..”
Fulan tak ingat lagi, tak mendengar lagi, karena sentuhan ujung kobaran api neraka sudah menghilangkan segalanya.
Apakah kita akan seperti Fulan? Semoga tidak. Ya Allah, ampuni kami.
*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.
*********
Republika.co.id