Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Selasa, 10/01 – 2017 ).
Pengiriman puluhan ribu tenaga kerja Indonesia—tanpa dokumen memadai—untuk menjadi awak kapal Taiwan jelas melanggar hukum. Praktek ini merupakan perdagangan manusia. Mereka diperlakukan sebagai budak, dengan dipaksa bekerja lebih dari 20 jam sehari tanpa jaminan apa pun, termasuk perlindungan hukum.
Akibatnya, banyak awak kapal menjadi penghuni penjara Taiwan sebagai pembunuh kapten kapal, karena mereka tidak tahan ditekan dan disiksa sehingga memberontak. Sebagian memilih pulang dengan tangan hampa karena meninggalkan pekerjaan sebelum kontrak berakhir.
Pemberangkatan anak-anak muda yang sebagian besar tidak punya pengalaman melaut itu dilakukan secara sembarangan. Mereka dikirim oleh agen penyalur tenaga kerja tanpa melalui proses pelatihan dan dokumen memadai untuk bekerja di kapal-kapal berbendera Taiwan yang mencari ikan di perairan internasional.
Akibatnya, di sana mereka diperlakukan sebagai pekerja ilegal tanpa perlindungan hukum, baik oleh pemerintah Taiwan maupun Indonesia.
Ketidakjelasan status awak kapal Indonesia ini merupakan akibat tumpang-tindih peraturan. Semestinya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dilakukan melalui satu pintu: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Namun pengiriman awak kapal ini diatur pula oleh Kementerian Perhubungan melalui Peraturan Nomor 84/2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, yang mengharuskan agen penyalur awak kapal asing mengantongi surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal.
Peraturan Menteri Perhubungan ini menjabarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, yang mengatur bahwa penempatan tenaga kerja pada pekerjaan dan jabatan tertentu, termasuk pelaut, diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.
Kenyataannya, tenaga kerja ini diberangkatkan sebagai awak kapal ke Taiwan oleh agen dengan berbekal surat izin usaha dari Kementerian Perdagangan. Hanya berbekal kontrak antara agen dan pekerja.
Menteri Tenaga Kerja, Perhubungan, dan Perdagangan, serta Badan Penempatan Tenaga Kerja, perlu segera duduk bersama membicarakan masalah pengiriman awak kapal ke luar negeri ini. Pemerintah harus segera mengeluarkan satu peraturan yang bisa menjamin keamanan dan keselamatan tenaga kerja kita yang bekerja di sektor perikanan di luar negeri.
Selain itu, pemerintah perlu segera meratifikasi Konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) Nomor 188/2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Konvensi ini berisi ketentuan untuk memastikan awak di kapal penangkap ikan mendapatkan pemenuhan syarat minimal ketika bekerja, menyangkut akomodasi, makanan, kesehatan, keselamatan kerja, dan jaminan sosial, yang menjadi tanggung jawab pemilik kapal penangkap ikan.
Tanpa langkah serius dan cepat dalam membenahi pengiriman awak kapal ke luar negeri, pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap praktek perdagangan manusia.
*********
Opini Tempo.co