Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 08/05 – 2017 ).
Adanya pungutan tambahan terhadap tenaga kerja Indonesia di Malaysia yang berlangsung hingga kini menunjukkan satu hal: perlindungan bagi pekerja migran kita tak juga membaik. Sejumlah peraturan yang dibuat pemerintah belum mampu melindungi mereka, yang selama ini diagungkan sebagai “pahlawan devisa”.
Dengan dalih melindungi majikan dari pekerja Indonesia yang tak sesuai dengan kompetensi, negeri jiran ini memperketat penyaringan yang mengakibatkan biaya penempatan membengkak.
Ada tiga pungutan yang diterapkan, yakni kebijakan visa satu pintu–yang membuat ongkos visa melonjak dari Rp 45 ribu menjadi Rp 882 ribu–pemeriksaan kesehatan Rp 450 ribu, dan izin imigrasi (Immigration Security Clearance) Rp 418 ribu. Pungutan itu berlangsung sejak 2014.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), pekan lalu, mengancam menghentikan pengiriman TKI jika Malaysia tak juga menghentikan pungutan tersebut.
Pungutan “baru” yang mencapai Rp 1,7 juta per orang itu jelas membebani TKI, yang sudah membayar sekitar Rp 5 juta untuk bekerja di Malaysia. Pemerintah, melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 152 Tahun 2011 tentang biaya penempatan dan perlindungan calon TKI tujuan Malaysia, menyebutkan ketiga biaya tersebut ditanggung majikan.
Malaysia dan Indonesia telah menyepakati hal itu. Hanya, kenyataannya, agen di Malaysia membebankan pungutan tersebut kepada calon pekerja migran lewat pelaksana penempatan TKI swasta.
Kasus yang menimpa TKI ini semestinya mendorong BNP2TKI segera memperbaiki perlindungan terhadap buruh migran. Badan ini mesti terus aktif berdialog dengan pemerintah Malaysia untuk menuntaskan masalah tersebut. Jika persoalan ini berlarut-larut, TKI yang menjadi korban akan semakin banyak.
Pembenahan lain yang juga harus segera dilakukan adalah menuntaskan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Aturan ini mendesak diperbaiki karena lebih mencerminkan perlindungan terhadap pengusaha ketimbang buruh migran.
Dari total 109 pasal, hanya delapan pasal yang mengatur perlindungan pekerja migran. Selebihnya adalah soal pengaturan bisnis penempatan buruh migran lewat perusahaan pengerah tenaga kerja swasta. Pemerintah semestinya belajar kepada Filipina, yang dikenal gigih memperjuangkan kepentingan buruh migrannya.
Overseas Workers Welfare Administration–badan perlindungan pekerja migran negara itu–dikenal cekatan mendampingi warganya yang bermasalah. Filipina pun mengizinkan pengiriman buruh migran hanya bila martabat dan hak asasi mereka dijamin.
Pemerintah Indonesia tak boleh membiarkan praktik pungutan yang merugikan TKI terus berlangsung. Pemerintah harus bersikap tegas terhadap agen atau majikan yang merugikan TKI tersebut. Salah satu caranya: tak melayani permintaan agen atau majikan di Malaysia sepanjang mereka belum melunasi ketiga pungutan itu.
Kita mendesak BNP2TKI secepatnya membahas persoalan ini dengan Malaysia–dan bukan hanya mengancam karena jelas hal itu tak menyelesaikan masalah ini.
*********
Tempo.co