Garut News ( Ahad, 18/05 – 2014 ).
— Spesies-spesies anggrek langka dari Indonesia terus diselundupkan.
Kasus terbaru, dugaan penyelundupan jenis Paphiopedilum robinsonianum.
Jenis anggrek itu dinyatakan, spesies baru dan dipublikasikan di jurnal Orchid tahun 2013.
Temuan ini, kolaborasi William Caestro (taksonom anggrek Perancis), N Bougourd (pemilik nurseri di Perancis), dan Alistair S Robinson (peneliti kantung semar Inggris).
Peneliti anggrek dari Kebun Raya Purwodadi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Destario Metusala, kepada Kompas.com katakan, riset dan publikasi tersebut janggal.
Destario mengungkapkan, seluruh spesies anggrek Indonesia masuk daftar “Convention on International Trade in Endangered Species” (CITES) Appendix 1 dan 2 sehingga hanya bisa dibawa ke luar Indonesia dengan izin dan pengawasan ketat.
Inge Yangesa, Kepala Seksi Peredaran Luar Negeri, Kementerian Kehutanan, selaku CITES Management Authority, tak terdapat izin dikeluarkan pada 2013 untuk membawa spesimen P robinsoniaum ke luar negeri.
Maka, bisa dipastikan spesimen dipakai peneliti untuk diidentifikasi dibawa secara ilegal.
Oknum diduga menyelundupkan belum bisa dipastikan.
P robinsonianum, pertama diketahui ekspedisi Redfern Natural History Expedition dipimpin Robinson pada 2013.
Kini, spesimen anggrek itu tersimpan di Herbarium Universite Claude Bernard, Lyon, Perancis (kode: LY).
Banyak terjadi
Destario mengemukakan, penyelundupan anggrek kerap terjadi.
“Sebelum kasus ini, sebenarnya banyak juga terjadi. Khusus di dunia anggrek, banyak penyelundupan, untuk komersial atawa nonkomersial, misal penelitian,” katanya.
Banyaknya penyelundupan anggrek antara lain terjadi lantaran minimnya pengetahuan masyarakat tentang perlindungan tumbuhan.
“Sehingga bisa mudah dibujuk orang asing mengirimkan banyak spesies anggrek alam ke luar negeri tanpa dokumen resmi,” ungkap Rio.
Faktor lain, banyaknya pemilik nurseri (pusat pembiakan) dari luar negeri keluar masuk Indonesia memburu jenis baru.
Kadang, oknum nakal pemilik nurseri lokal juga bekerja sama, menyisipkan anggrek hutan pada kemasan anggrek hibrida (hasil persilangan).
“Tahun 2009, hanya berselang dua bulan sejak publikasi spesies baru Dendrobium floresianum, endemik Indonesia, ternyata spesies tersebut beredar di Australia, dan Malaysia dalam jumlah signifikan. Usut punya usut, sumbernya oknum nakal,” urai Destario.
Sangat miris, berbiaya membawa anggrek hutan Indonesia ke luar negeri minim, anggrek itu bisa dibiakkan mudah.
Akhirnya, anggrek hasil pembiakan dijual kembali ke Indonesia, dan negara lain berharga mahal.
Penyelundupan anggrek, menurut Destario, merugikan pada pelbagai aspek, aspek kedaulatan pengelolaan biodiversitas Indonesia tercoreng, kerugian ilmiah lantaran ilmuwan Indonesia kudu ke luar negeri apabila ingin memelajari, dan kerugian ekonomi.
“Contoh pada anggrek Dendrobium sutiknoi spesimennya sangat susah dicari di Indonesia, bahkan di habitatnya di Papua sana, jika ada juga harganya selangit. Tetapi, nurseri-nurseri di luar negeri menjualnya berjumlah besar secara online ke seluruh dunia dengan harga sangat terjangkau,” urai Rio.
Kasus sama terjadi pada anggrek jenis Dendrobium tobaense, Phalaenopsis javanica, Phalaenopsis violacea, dan banyak lainnya.
Ketika negara lain mendulang uang dari sumber daya alam hayati Indonesia, negara kita justru tak mendapatkan manfaat.
Destario mengungkapkan, “Negara kita mestinya punya sistem lebih baik mengelola, dan memanfaatkan biodiversitas dimiliki sebab sesungguhnya negara ini memang diberkahi modal paling berharga bernama biodiversitas. Namun, melindungi saja tanpa melakukan strategi pemanfaatan secara lestari, dan berkelanjutan juga percuma.”
Artikel direvisi memerbaiki beberapa pernyataan. Tak ada bukti siapa oknum membawa spesimen P robinsoniaum ke luar negeri, apakah peneliti itu sendiri atawa oknum lain. Sehingga, tak bisa dikatakan menyelundupkan spesimen anggrek itu peneliti asing.
Penulis | : Yunanto Wiji Utomo |
Editor | : Yunanto Wiji Utomo/ Kompas.com |