Garut News, ( Jum’at, 01/11 ).
Kini saatnya marah, meradang, memprotes, bahkan mengutuk keras Amerika Serikat, yang melakukan kegiatan mata-mata, menyadap e-mail, dan pembicaraan telepon, melalui kedutaan besarnya di Jakarta.
Di antara negara ASEAN, demikian menurut Edward Snowden, orang dalam di lembaga Badan Keamanan Nasional (NSA) berbalik menjadi whistle blower, tersebutlah kedutaan Amerika di Kuala Lumpur, Bangkok, Pnom Penh, Yangoon, dan Jakarta memiliki fasilitas penyadapan seperti ini.
Belum terungkap siapa saja yang menjadi korban penyadapan Amerika di Indonesia.
Yang jelas, semua orang mafhum setiap perwakilan diplomatik menempuh cara-cara lazim dilakukan dinas intelijen demi mengumpulkan keterangan.
Namun ceritanya beda apabila sepak-terjang klandestin itu, kemudian terbongkar: tuan rumah merasa kecolongan, kedaulatan diterjang, dan ketidakpercayaan membentang.
Amerika Serikat, belum sembuh dari trauma peristiwa “9/11” , seperti bergerak di alam bawah sadarnya: menerobos masuk negara sahabat guna menghabisi teroris.
Peristiwa meluluh-lantakkan menara kembar World Trade Center di New York pada 11 September 2001 itu seolah menjadi pembenar atas kegiatan mata-mata.
Bahkan diam-diam, seperti dilansir surat kabar The Guardian, Amerika menyadap 200-an telepon asing, termasuk 35 telepon kepala negara sekutunya.
Melalui Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Indonesia memprotes keras, menuntut penjelasan resmi pemerintah Amerika Serikat.
Sementara itu, Jerman, sekutu dekat Amerika dalam perang di Afganistan dan Irak, meradang lebih keras.
Amerika menyadap telepon Kanselir Jerman Angela Merkel semenjak 2002-sebelum ia menjadi orang nomor satu di Jerman.
Perilaku Amerika lewat NSA tak bisa lagi ditenggang.
Lahir dari Amerika terguncang dan paranoid, lembaga ini telah menjelma menjadi raksasa sibuk memata-matai dunia.
Memang, di antara politik formal, konferensi pers mengungkapkan satu hal tetapi menyembunyikan yang lain, mungkin kudu ada sosok melakukan dirty job seperti NSA.
Namun, tatkala peran, dan pengaruh badan sangat mengandalkan operasi intelijen ini semakin meraksasa, centang-perenanglah dunia diplomasi Amerika.
Tuntutan penjelasan jujur, dan jernih atas persoalan pelik ini bukan datang dari pihak lawan, melainkan dari para sekutu dekat.
Di Indonesia sepanjang 1967-1971, ketika negara dikendalikan operasi intelijen, negara menguat, bahkan hegemonis.
Tetapi bukan lantaran solidnya dukungan rakyat, melainkan lantaran sokongan intelijen.
Dan seandainya keadaan ini juga menimpa Amerika sangat mengandalkan operasi intelijen, ia terkucil, ditinggalkan sahabat-sahabatnya sakit hati lantaran skandal ini.
Sangat wajar jika Indonesia meningkatkan protesnya agar Washington mendengarkan lebih jelas suara-suara kritis terhadapnya, dan Presiden Barack Obama mulai mengurangi wewenang NSA.
****** Opini/Tempo.co