Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 23/12 – 2016 ).
Adalah sebuah kemunduran bila surat arahan yang dikeluarkan Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Republik Indonesia soal penggeledahan dan penyitaan di lingkungan kepolisian benar-benar dijalankan. Surat tersebut menyatakan perlunya izin Kepala Polri bila terjadi penggeledahan dan penyitaan oleh lembaga lain, yakni kejaksaan, pengadilan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, di lingkungan markas Polri. Atau, izin kepala polda bila terjadi di kepolisian daerah.
Surat tersebut berpotensi menghambat atau menghalang-halangi kerja aparat penegak hukum. Jika pimpinan kepolisian cepat memberikan izin, tak akan timbul masalah. Tapi, bila izin tak segera diberikan, penguluran waktu itu bisa memunculkan masalah: peluang hilangnya barang bukti. Apalagi bila ditolak.
Tindakan menghalang-halangi tersebut melanggar Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan, bila terkait dengan kasus korupsi, tindakan tersebut menentang dua aturan sekaligus. Selain KUHP, juga Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tahun 1999.
Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 3 tahun serta paling lama 12 tahun dan/atau denda minimal Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.
Surat yang dikeluarkan pada pertengahan Desember 2016 tersebut harus dicabut, meski polisi menyatakan surat tersebut merupakan arahan internal dan tidak mengikat lembaga lain.
Selain itu, arahan tersebut bertentangan dengan undang-undang. Pasal 33 dan 38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa untuk penggeledahan dan penyitaan yang berkaitan dengan sebuah tindak pidana, hanya dibutuhkan izin dari kepala pengadilan negeri tempat penggeledahan dan penyitaan itu terjadi.
Tak ada pembedaan perlakuan terhadap masyarakat dan aparat penegak hukum, termasuk polisi. Semua sama di mata hukum.
Bahkan Pasal 34 menyebutkan, dalam keadaan mendesak, penyidik diperbolehkan menggeledah dan menyita lebih dulu, baru kemudian cepat melapor ke ketua pengadilan negeri untuk mendapatkan persetujuan.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi punya wewenang lebih jauh lagi. Mereka bisa menggeledah dan menyita tanpa izin dari ketua pengadilan setempat.
Tindakan tersebut dipayungi Pasal 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hanya, memang diatur agar ada koordinasi dan supervisi antarlembaga.
Dalih bahwa pimpinan kepolisian kerap tak mengetahui terjadinya pemanggilan, penggeledahan, dan penyitaan di lingkungan mereka tak bisa dijadikan alasan untuk mengeluarkan surat tersebut.
Sebagai aparat penegak hukum, kepolisian seharusnya berada di garda terdepan dalam penegakan hukum dengan memberi contoh untuk ringan tangan dalam bekerja sama.
Bukannya menyodorkan citra mempersulit atau malah melindungi anggota ataupun pegawainya bila melakukan tindak pidana, terutama korupsi. Berilah contoh patuh hukum kepada masyarakat.
*********
Opini Tempo.co