-Amarzan Loebis, amarzan@tempo.co.id
Jakarta, Garut News ( Selasa, 18/02 – 2014 ).
Kesalahan terbesar metodologi survei politik yang mencoba mengukur derajat keterpilihan seorang bakal calon presiden akhir-akhir ini adalah tidak lengkapnya pertanyaan.
Ada pertanyaan tentang elektabilitas, ada pertanyaan tentang kapabilitas, ada pertanyaan tentang rupa-rupa, tapi tidak ada pertanyaan tentang ahwal yang saya anggap mustahak: pengaruh atau keterpengaruhan.
Misalkan saya menganggap calon presiden Badu tinggi tingkat elektabilitas dan kapabalitasnya.
Janji-janjinya merdu, sisiran rambutnya necis, tampangnya gaul, nenek moyangnya begawan ini dan begawan itu, hartanya banyak, tapi kalau saya tidak bisa dipengaruhi untuk memilih dia, mau apa?
Di sinilah pentingnya pengaruh.
Dunia media massa sudah lama menyadari keistimewaan pengaruh.
Karena itu, ada istilah “koran berpengaruh”.
Dari dulu nian sudah disepakati bahwa fungsi kedua surat kabar adalah mempengaruhi (to influence), setelah fungsinya yang pertama, yakni menginformasikan (to inform).
Karena itu, misalkan koranmu tak jelas kebijakan pemberitaannya, atau belepotan tulisan para jurnalisnya, kalau koranmu sudah dianggap “berpengaruh”, jangan khawatir, pengiklan akan antre sambung-menyambung.
Begitu pentingnya pengaruh, sehingga di bawah rezim “Orde Baru” dulu ada lembaga khusus untuk menyelidiki keterpengaruhan warga negara, khususnya dari ideologi Marxisme-Komunisme.
Lembaga ini merupakan pengganti Kopkamtib, yang kepanjangannya saya sudah lupa-saking ruwetnya.
Sungguh disayangkan, hingga rezim itu gulung tikar, tak pernah jelas bagaimana lembaga itu menakar keterpengaruhan tadi, dan siapa saja yang sempat disimpulkan terpengaruh atau tidak terpengaruh.
Dalam film Soekarno juga terlihat betapa pentingnya pengaruh.
Sjahrir, yang digambarkan hampir selalu bertentangan pendapat dengan Soekarno, tetap tidak setuju menisbikan Sukarno karena, “Hanya dia (Sukarno) yang bisa mempengaruhi rakyat.”
Hatta bahkan digambarkan jauh lebih memahami kebesaran pengaruh Sukarno itu.
Karena itulah saya tersentak ketika mendengar kabar terbitnya sebuah buku tentang 33-atau berapalah, saya tak ambil pusing-sastrawan berpengaruh di Indonesia.
Ini pasti hebat, pikir saya.
Mulailah saya membayangkan nama-nama besar dalam jagat sastra Indonesia, dari zaman Aman Datoek Madjoindo sampai zaman yang tak begitu aman sekarang ini.
Meminjam istilah yang sering digunakan sahabat saya, Seno Joko Suyono, buku ini pasti “dahsyat”.
Ternyata tak mudah mencari buku itu.
Di toko langganan saya malah tak ada.
“Kami belum terpengaruh untuk menjualnya di sini,” kata manajer toko.
Segera saya hubungi sahabat saya, sastrawan yang saya anggap pasti terpilih masuk buku itu.
Dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Mengapa menghubungi saya?” kata dia.
“Kami terlalu mudah dipengaruhi orang.”
Belum kelarbuncah saya, sudah marak cabuh gaduh.
Ada penyusun buku yang menyatakan mundur, dulu katanya cuma terpengaruh niat baik inisiator-yang belakangan ketahuan lancung.
Ada yang berterus terang menyatakan terpengaruh honorariumnya yang indah.
Bahkan, ada yang menyatakan tidak terpengaruh, tapi betul-betul terjebak.
Karena itu, saya putuskan tidak terpengaruh untuk membeli buku itu.
Lagi pula, apa urusan saya dengan pengaruh 33 sastrawan?
Dipengaruhi satu sastrawan saja hidup saya sudah tak nyaman.
*****
Kolom/artikel Tempo.co