Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Selasa, 05/01 – 2016 ).
Banyak kelompok masyarakat seputar kawasan “Taman Wisata Alam” (TWA) Kawah Gunungapi Papandayan mengharapkan, keberadaan mereka menyelenggrakan kegiatan usaha pada TWA tersebut, bisa memeroleh perhatian Pemkab Garut, beserta “Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam” (BBKSDA) Jawa Barat selaku pengelola, dan pemilik kawasan.
Lantaran selama ini keberadaan mereka acap dituding penyebab terjadinya kesemrawutan di kawasan itu, sebab dinilai ilegal. Apalagi dengan merebak-maraknya sejumlah pungutan di luar retribusi resmi, yang kini dikeluhkan kalangan wisatawan.
Mereka juga mengklaim, keberadaannya selain mencari nafkah, turut pula membantu melayani para pengunjung. Sehingga para pengunjung menjadi betah, dan nyaman menikmati aktivitas wisata.
“Kami di sini hanya mencari rizki, dan demi perut apapun kami usahakan. Kalau memang benar-benar ilegal serta dianggap mengganggu, coba carikan solusinya agar keberadaan kami menjadi legal. Kami juga tak ingin berbenturan dengan hukum,” ungkap seorang pengurus Tim 9 Pengelola TWA Papandayan asal Desa Sirnajaya, Hadin, Senin (04/01/2016).
Dia mengklaim pula, keberadaannya bersama kelompok penduduk lain justru turut serta membantu petugas pengelola kawasan melayani pengunjung.
Menurut dia, sejumlah pungutan seperti biaya parkir kendaraan, penitipan helm, dan sampah tak lebih sebagai salah satu cara mendata dan memantau setiap pengunjung yang masuk kawasan TWA. Sekaligus menjaga keamanan kendaraan pengunjung dari kemungkinan gangguan aksi kejahatan.
“Jumlah pengunjung sekian banyak itu, apa bisa ditangani semuanya oleh petugas BBKSDA? Lagi pula, biaya itu juga sifatnya sukarela. Kalau enggak mau, kita tak maksa. Hanya kalau ada apa-apa, risiko ditanggung sendiri. Tiket dijual, tapi fasilitas parkir ditutup. Lalu siapa yang mengatur kendaraan pengunjungnya?” kata Hadin juga pemilik salah satu kios seputar bekas lapang parkir TWA Papandayan itu.
Namun ia mengelak ketika disinggung soal mobil angkutan penumpang bak terbuka berplat nomor hitam kerap dikeluhkan pengunjung. Dia menegaskan bukan urusannya, melainkan dikelola pihak lain.
Dikemukakan, Tim 9 Pengelola Papandayan terbentuk atas inisiatif sejumlah warga sekitar TWA, terdiri Desa Cisurupan, Cipangramatan, dan Desa Sirnajaya Cisurupan.
Selain Tim 9 Pengelola TWA Papandayan, kelompok lain turut meramaikan aktivitas wisata yakni relawan, porter, dan Koperasi Papandayan.
Ungkapan senada dikemukakan warga lainnya, Mahmudin. Dia mengingatkan Pemkab Garut agar tak berpangku tangan terhadap keberadaan warga pelaku usaha wisata di dalam kawasan TWA Papandayan selama ini dianggap liar.
Termasuk keberadaan kios pedagang jumlahnya terus membengkak dari sekitar 46 unit menjadi sekitar 80 unit, serta mobil angkutan penumpang bak terbuka jumlahnya mencapai sekitar 80 unit.
“Pemkab Garut tak bisa tinggal diam. Sebab bagaimanapun, masyarakat mencari hidup di sana itu juga warga Garut,” imbuh Mahmudin, mengingatkan.
Menurutnya, perhatian dari BBKSDA dan Pemkab Garut sangat dibutuhkan penduduk. Apalagi menyangkut masa depan kehidupan mereka jika pengelolaan kawasan TWA Papandayan jadi diambil alih investor dari PT AIL.
“Sosialisasi mesti dilakukan benar-benar dengan melibatkan masyarakat langsung. Jangan sampai penertiban, penataan, dan pengelolaan TWA Papandayan oleh pihak ketiga itu, justru menyingkirkan warga dan menimbulkan konflik,” tandasnya kembali mengingatkan.
******
(nz, jdh).