Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center
Garut News ( Selasa, 18/11 ).
Pemilihan Umum 2014 dihadapkan pada sejumlah persoalan krusial yang tidak kompatibel dengan upaya meningkatkan kualitas demokrasi elektoral pasca-reformasi.
Salah satu persoalan krusial itu adalah penurunan tingkat partisipasi pemilih dalam pemungutan suara (voters turnout).
Sebagai wujud implementasi demokrasi tempat kedaulatan politik rakyat sangat dihargai, pelaksanaan pemilu semestinya disambut antusias oleh masyarakat dengan mengoptimalkan partisipasi mereka dalam proses demokrasi elektoral tersebut.
Namun realitas menunjukkan hal terbalik.
Sejak pelaksanaan pemilu pertama pada era reformasi 1999 hingga Pemilu 2009, tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu menunjukkan penurunan secara konsisten.
Tingkat partisipasi pada pemilu 1999 sebesar 92,6 persen.
Pada pemilu 2004, tingkat partisipasi itu turun menjadi 84,1 persen, kemudian kembali anjlok pada Pemilu 2009 menjadi 70,9 persen.
Salah satu penyebab utama masalah itu adalah penurunan tingkat kepercayaan terhadap partai politik sebagai bentuk perlawanan terhadap perilaku korup para elite politik.
Merujuk pada hasil survei terbaru Indikator Politik Indonesia, partai politik hanya memperoleh kepercayaan publik sebesar 31 persen.
Alih-alih menjadi harapan bagi perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik kini justru lebih menjadi sumber masalah akibat perilaku korup sejumlah elite mereka.
Dalam rapat kerja dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, Februari lalu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan dari 524 daerah otonom, 290 kepala daerahnya sudah menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Mayoritas atau sekitar 86,2 persen kepala daerah yang tersangkut masalah hukum terlibat dalam kasus korupsi.
Di lingkup legislatif juga tidak jauh berbeda.
Dalam kurun 2004-2012, jumlah anggota DPRD provinsi yang dimintakan izin kepada gubernur untuk diperiksa karena tersandung kasus hukum, khususnya korupsi, mencapai 431 orang.
Jumlah itu belum termasuk anggota DPR dan DPRD kabupaten/kota.
Politik uang merupakan bentuk lain dari perilaku korup para elite politik, terutama menjelang pelaksanaan pemilu.
Politik uang merupakan praktek pemberian uang kepada para calon pemilih menjelang pelaksaan pemilu, dengan harapan mereka akan memberikan dukungan suara kepada elite atau partai politik yang bersangkutan saat pemungutan suara nanti.
Salah satu hal target paling potensial dari praktek politik uang adalah pemilih pemula.
Secara sederhana, pemilih pemula dapat diartikan sebagai kelompok yang berusia 17 tahun ke atas dan baru pertama kali menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2014.
Umumnya, mereka sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas.
Pendidikan politik kepada pemilih pemula, terutama soal politik uang, penting dilakukan atas dasar dua hal.
Pertama, pemilih pemula belum memiliki pengalaman memilih dalam pemilihan umum.
Karena itu, mereka perlu mengetahui dan memahami berbagai hal terkait dengan pemilu, misalnya untuk apa pemilihan diselenggarakan, apa saja tahapan pemilu, siapa saja yang boleh ikut serta dalam pemilu, dan bagaimana tata cara menggunakan hak pilih dalam pemilu.
Kedua, pemilih pemula merupakan kelompok dengan jumlah signifikan.
Diperkirakan dalam setiap pemilihan umum, jumlah pemilih pemula mencapai 20-30 persen dari total jumlah pemilih dalam pemilu.
Pada Pemilihan Umum 2004, jumlah pemilih pemula mencapai 27 juta orang. Sedangkan pada Pemilu 2009, jumlah pemilih pemula sekitar 36 juta orang.
Jumlah itu tentu terbilang cukup besar, sehingga dapat menentukan kemenangan partai politik atau kandidat tertentu peserta pemilu.
Pemilih pemula yang terpapar oleh praktek politik uang tentu akan membawa dampak buruk bagi pelaksaan pemilu dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Dalam konteks itu, pemahaman lebih baik dari pemilih pemula terhadap praktek politik uang diharapkan akan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas pemilu dan keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Pendidikan politik bagi pemilih pemula merupakan salah satu strategi meningkatkan pemahaman mereka terhadap ancaman praktek politik uang dalam Pemilu 2014.
Pendidikan politik bagi pemilih pemula akan membangun kesadaran lebih luas mengenai peran penting mereka dalam mereduksi praktek-praktek politik uang menjelang Pemilu 2014.
Pendidikan politik juga akan membawa manfaat untuk membuat pemilih pemula lebih mengerti soal pentingnya kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia, sehingga kemudian diharapkan akan tumbuh dorongan dalam diri mereka untuk turut serta berpartisipasi dalam pemilu.
Para pemilih pemula perlu mendapat pendidikan politik karena kehidupan politik di Indonesia saat ini masih menempatkan mereka sebagai obyek semata, termasuk target praktek politik uang.
Mereka memerlukan pengetahuan mendalam mengenai hak mereka sebagai warga negara serta perlu dibantu memahami dan mencermati situasi serta kondisi politik pada level lokal maupun nasional. *
**** Sumber : Kolom/artikel : Tempo.co