JOKO RIYANTO, Kader Muda Muhammadiyah
Jakarta, Garut News ( Senin, 14/10 ).
Maka, ketika pemerintah meluncurkan pesan komunikasi politik berupa kebijakan, tidak ada aura kredibilitas yang menyertai pesan itu untuk bisa diterima khalayak.
Membaca judul di atas mungkin akan melahirkan pertanyaan sela apa kaitan antara Ibrahim dengan pemerintah dan Ismail dengan rakyat.
Sesungguhnya kita bisa menjadikan hari raya Idul Adha 1434 Hijriah sebagai kaca benggala untuk memahami proses-proses komunikasi politik yang berlangsung antara supra-struktur politik (pemerintah, SBY-Boediono) dan infrastruktur politik (rakyat).
Jika Allah dan Ibrahim memilih Ismail dibanding Ishak untuk menjadi korban, itu bukan sebuah kebetulan.
Ibrahim mempunyai dua putra, kedua-duanya memiliki level yang sama: nabi.
Dari segi gen dan status sosial, Ishak adalah putra Sarah, bahkan lebih tinggi ketimbang Ismail, putra Hajar, yang dulunya seorang budak.
Tapi kenapa dia memilih Ismail?
Pesan “untuk dijadikan korban dengan cara disembelih” adalah sebuah pesan yang dahsyat sekaligus menggiriskan.
Dibutuhkan seorang komunikan yang lapang dan tawakal untuk bisa menerima pesan itu.
Dalam hal ini, Ismail lebih unggul dibanding Ishak.
Dalam berbagai hikayat dikisahkan bahwa Ismail memiliki kelebihan tawakal, keikhlasan, kelapangan hati, dan kesabaran.
Sedangkan Ishak memiliki keunggulan dalam hal kecerdasan, tata pemerintahan, dan kepemimpinan.
Dengan demikian, Ibrahim tahu betul seharusnya pada siapa pesan itu disampaikan.
Ismail dan Ishak, meski sama-sama seorang nabi, tidak bisa disamaratakan.
Semestinya juga demikian halnya dengan pemerintah.
Maka, ketika Ibrahim lebih memilih Ismail untuk menerima pesan dari Allah tersebut, sesungguhnya ini adalah kesengajaan yang cerdas dan intersubyektif.
Sebab, seandainya pesan ini disampaikan kepada Ishak, tentu akan mendapat banyak pertanyaan akibat kecerdasan Ishak.
Di sinilah persoalannya.
Pemerintah tidak berusaha memahami kenyataan bahwa rakyat Indonesia bukan hanya Ismail, lebih banyak lagi yang Ishak.
Pemerintah meluncurkan sebuah pesan kebijakan yang pahit tidak pada komunikan yang tepat.
Kebijakan diberlakukan pada semua elemen dan level rakyat, tanpa memandang nilai strategisnya.
Dalam proses komunikasi interpersonal yang terjadi antara Ibrahim dan Ismail pun berlaku intersubyektif, penuh pemahaman antara komunikator dan komunikan.
Meski pesan untuk menyembelih putranya demi menunaikan korban itu langsung datang dari Allah, sebagai komunikator, Ibrahim tidak memaksakan pesannya secara represif terhadap komunikannya, Ismail.
Ibrahim pun tidak menggunakan pola komunikasi yang instruktif, meskipun untuk itu ia memiliki otoritas, karena kedudukannya sebagai kepala keluarga sekaligus nabi.
Ibrahim menyampaikan pesan yang menggiriskan sekaligus memilukan itu dengan deskriptif dan naratif.
Kesimpulan dan pendapat akhir diserahkan sepenuhnya kepada komunikannya, Ismail.
Apakah menerima atau tidak pesan itu.
Dalam hal ini, Ibrahim telah berlaku amat intersubyektif, yakni amat memahami kondisi dan konteks komunikan, yang tentu akan sangat berat ketika harus menerima pesan “sebagai korban”.
Di sinilah konteksnya.
Pemerintah (baca: SBY-Boediono) sama sekali tidak berusaha memahami kondisi dan konteks khalayak ketika meluncurkan pesan kebijakan.
Pemerintah tidak berusaha memahami bahwa, secara psiko-ekonomi, pesan itu tentu akan sangat berat untuk diterima rakyat kecil yang ditelikung oleh krisis ekonomi berkepanjangan, belenggu kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, dan mahalnya harga bahan kebutuhan pokok.
SBY-Boediono tidak berusaha berempati, menempatkan diri mereka pada posisi khalayak yang serba susah.
Maka, berdasarkan kekuatan otoritasnya sebagai presiden, SBY menggunakan pola-pola komunikasi yang represif dan instruktif untuk berkukuh menjalankan kebijakan.
Dan untuk menanggapi berbagai protes, kritik, dan unjuk rasa.
Pola komunikasi politik semacam ini cenderung melahirkan destruktivitas khalayak.
Tidak seperti Ismail, yang bertindak sebagai komunikan yang sangat intersubyektif, serta begitu memahami posisi dan kedudukan ayahnya, nabi yang harus menjalankan perintah-Nya.
Rakyat pun begitu susah memahami posisi pemerintah yang dijerat oleh jebakan defisit anggaran seorang pengutang yang harus menjalankan perintah-perintah IMF.
Sebagai komunikan, Ismail bisa menempatkan diri (empathy) seandainya berada pada posisi komunikator, Ibrahim.
Empati inilah yang menjadikan Ismail menerima semua pesan itu, dan bahkan mendukung sepenuhnya laku Ibrahim untuk tidak ragu sedikit pun.
Sebuah proses komunikasi yang intersubyektif, yakni ketika kondisi empati ada di antara komunikator dan komunikan.
Antara Ibrahim dan Ismail.
Berbalik dengan apa yang terjadi antara SBY-Boediono dan rakyatnya.
SBY-Boediono bukannya berusaha empati.
Mereka malah mencari-cari kelemahan dan kesalahan komunikan, sehingga secara psikis khalayak semakin dijauhkan dari watak lapang dan tawakalnya.
Ismail menerima pesan mengerikan dari Ibrahim tersebut tentu tidak semata-mata karena Ibrahim yang intersubyektif.
Akan tetapi juga karena, sebagai komunikator, Ibrahim memiliki catatan-catatan yang memperkukuh kredibilitasnya di mata komunikan (Ismail).
Sebagai seorang ayah, dalam sejarahnya, Ibrahim telah memberikan limpahan kasih sayang pada Ismail.
Sementara, sebagai hamba dan Nabi Allah, Ibrahim juga telah menunjukkan kredibilitasnya dengan keimanan dan kepatuhannya.
Kredibilitas komunikator yang demikian sangat mempengaruhi penilaian komunikan terhadap setiap pesan yang disampaikan.
Sedangkan rakyat terus saja menolak pesan-pesan komunikasi pemerintah melalui berbagai unjuk rasa yang terus menguat dan meluas eskalasinya, itu semata-mata bukan karena sikap komunikator politik yang tidak intersubyektif dan empati.
Lebih dari itu, karena catatan kredibilitas komunikator (pemerintah, SBY-Boediono) di mata khalayak selama ini tidak cukup kuat.
Tidak ada limpahan kasih sayang berupa kebijakan yang berpihak pada rakyat miskin, bahkan sebaliknya.
Tidak ada keimanan dan kepatuhan dengan tetap berkeliarannya para tersangka korupsi besar di luar.
Maka, ketika pemerintah meluncurkan pesan komunikasi politik berupa kebijakan, tidak ada aura kredibilitas yang menyertai pesan itu untuk bisa diterima khalayak.
Jadi, jangan salahkan jika sekarang Ismail (rakyat) berteriak bahwa pemerintah adalah nabi palsu.
Jangan salahkan pula jika kemudian rakyat menuntut SBY-Boediono menanggalkan jubah kenabiannya.
Ismail, yang disembelih, bisa jadi bukannya menjadi domba yang membawa maslahat sosial, sebaliknya menjadi harimau yang menerjang dan mencabik-cabik.
**** Tempo.co