Garut News ( Jum’at, 07/02 -2014 ).
Upaya melumpuhkan KPK belum berhenti.
Kali ini pemerintah, bersama politikus Senayan, berusaha memereteli wewenang KPK lewat RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pelumpuhan secara terselubung ini kudu ditolak lantaran mengendurkan perang melawan korupsi.
Rancangan kini dibahas Komisi Hukum DPR itu berkali-kali direvisi, tetapi hasilnya tetap mengecewakan.
Tak ada pembaruan hukum.
Kalaupun terdapat perubahan proses hukum, hal itu dilakukan serampangan.
Akibatnya, muncul kesan rancangan ini lebih bertujuan mengurangi wewenang sebagian lembaga penegak hukum, terutama KPK.
Sikap politikus Senayan ngotot membahas rancangan itu amat mencurigakan.
Dengan mudah, orang melihat adanya konflik kepentingan.
Banyak anggota DPR yang ditangkap KPK.
Tak sedikit pula politikus kerap disebut terlibat pada suatu kasus korupsi, tetapi belum terjerat hukum, ikut membahas Rancangan KUHAP.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kudu bertanggung jawab atas rancangan aneh itu.
Setelah sekitar 15 tahun kita gencar memerangi korupsi, pemerintah seharusnya tak melakukan langkah mundur.
Banyaknya pejabat dan politikus masuk penjara lantaran korupsi bukanlah salah KPK, melainkan kesalahan kalangan partai politik, dan pemerintah tak segera membersihkan diri.
Upaya memereteli wewenang KPK itu sungguh kentara.
Lenyapnya tahap penyelidikan dalam Rancangan KUHAP, misalnya, jelas menyulitkan pembongkaran korupsi.
Selama ini banyak skandal korupsi terkuak setelah KPK melakukan penyelidikan, penyadapan, dan kemudian operasi tangkap tangan.
Dengan cara ini, para koruptor tak bisa berkutik sebab bukti-buktinya amat kuat.
Soal penyadapan memang masih diatur dalam rancangan KUHAP itu, namun prosedurnya menjadi bertele-tele.
Penegak hukum, termasuk KPK, kudu mendapat persetujuan dari hakim pemeriksa pendahuluan-fungsi baru diperkenalkan pada rancangan KUHAP.
Itu pun hanya bisa dilakukan penyidik.
Artinya, kasus bisa disadap mesti sampai pada tahap penyidikan.
Hakim pemeriksa pendahuluan memiliki wewenang amat besar.
Tak hanya memberikan izin penyadapan, mereka juga berperan dalam urusan penahanan, penyitaan, dan penggeledahan.
Hakim pemeriksa pendahuluan juga berhak menghentikan penuntutan dengan beragam alasan.
Putusan mereka bersifat final sehingga tak bisa dilakukan upaya banding dan kasasi.
Aturan ini memungkinkan perkara korupsi ditangani KPK digugurkan seenaknya.
Komisi Hukum DPR seharusnya menghentikan pembahasan RUU KUHAP itu.
Menteri Hukum sebaiknya segera menarik rancangan sangat anti-KPK ini.
Jika tidak, dengan mudah publik menuding terdapat persekongkolan antara politikus Senayan dan pemerintah melumpuhkan KPK.
***** Opini/Tempo.co