Garut News ( Senin, 14/04 – 2014 ).
Calon legislator stres lantaran menangguk sedikit suara mulai bermunculan.
Ada meminta kembali duit ia tebar ke penduduk.
Ada pula diam-diam berobat ke kiai.
Fenomena mencuat pada setiap pemilihan umum ini, menggambarkan lemahnya mekanisme rekrutmen caleg.
Partai politik tak menyiapkan caleg secara dini bertarung dalam pemilu diselenggarakan rutin setiap lima tahun.
Kematangan caleg direkrut-bisa dari kader internal atawa luar partai-semestinya menjadi pertimbangan.
Begitu pula integritas, dan kemampuan finansialnya.
Pola rekrutmen amburadul tak hanya dimonopoli partai kecil atawa baru, tetapi juga terjadi pada partai besar.
Penyaringan asal-asalan itulah memunculkan caleg-caleg tak bermutu.
Mereka tak mengerti tujuan berpolitik, dan tak paham risikonya.
Jangan heran apabila perilaku mereka tampak konyol setelah gagal mendapatkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat atawa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Orang tentu geli mendengar terdapat caleg menarik kembali sumbangannya ke masjid setelah ia nyaris pasti tak memperoleh kursi legislatif.
Di Sulawesi Selatan, ada pula calon legislator berupaya meminta kembali kompor gas dibagikan pada penduduk.
Perilaku ini mengundang amarah seorang pemilik warung telanjur menggunakan kompor pemberian itu.
Di daerah lain, ada juga caleg menarik kembali duit Rp50 ribu ia tebar ke penduduk.
Ada pula caleg stres langsung berobat ke pesantren di Jawa Barat setelah mengetahui perolehan suaranya amat kecil.
Beragam perilaku memalukan itu, hanya mengulangi fenomena sama pada pemilu sebelumnya.
Pada 2009, menurut catatan Kementerian Kesehatan, sedikitnya 7.376 caleg stres lantaran gagal menjadi anggota legislatif.
Mereka terdiri 49 calon anggota DPR, empat calon anggota DPD, 496 calon anggota DPRD I, dan 6.827 calon anggota DPRD II.
Kali ini pemerintah menyiapkan banyak rumah sakit menampung para caleg stres.
Antisipasi ini bagus mencegah dampak lebih buruk.
Bagaimanapun, mereka perlu ditolong dan disembuhkan mentalnya.
Jangan sampai ada caleg bunuh diri lantaran tak ada rumah sakit menampung.
Partai politik semestinya merasa malu lantaran mengusung caleg-caleg tak tahan banting.
Apalagi partai juga tak mendidik para calegnya menjauhi suap politik.
Partai politik tak mengupayakan kampanye murah, dan efektif sehingga para caleg tak perlu menguras harta benda.
Kampanye tak menghabiskan banyak duit jika si calon legislator menanam investasi politik jauh hari sehingga dikenal baik masyarakat.
Inilah pentingnya partai politik menyiapkan caleg secara dini sehingga ia bisa “berkampanye” sepanjang lima tahun.
Rekrutmen asal-asalan, dan dilakukan saat terakhir menjelang pemilu hanya memunculkan caleg mudah stres.
******
Opini/Tempo.co