Garut News ( Rabu, 27/08 – 2014 ).
Keinginan Koalisi Merah Putih membentuk panitia khusus mengenai penyelenggaraan pemilihan presiden sebaiknya diurungkan.
Panitia akan dibentuk di Dewan Perwakilan Rakyat ini mubazir. Soalnya, sengketa pemilihan presiden sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi.
Manuver yang sudah lama digulirkan itu masih dilanjutkan, kendati MK telah menolak semua gugatan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Majelis hakim konstitusi bahkan menjatuhkan putusan secara bulat, tanpa beda pendapat. Kubu pasangan itu berdalih pembentukan panitia khusus alias pansus tak berkaitan dengan putusan MK, melainkan dengan putusan “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu” (DKPP).
Alasan antara lain disampaikan Hidayat Nur Wahid, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, itu mengada-ada.
DKPP memang menemukan sejumlah pelanggaran etika dalam pemilihan presiden, tetapi lembaga ini memberikan sanksi bagi penyelenggara pemilu yang nakal.
Sebagian di antara mereka bahkan dipecat. Lalu, apa lagi akan ditelisik politikus Senayan?
Kalau benar temuan DKPP menjadi dasar, anggota DPR seharusnya tak hanya membentuk pansus untuk pemilihan presiden, tetapi juga untuk pemilihan legislatif.
Banyak pelanggaran dalam pemilu legislatif.
Tak sedikit pula penyelenggara pemilu diberi sanksi-sebagian malah dipecat–oleh DKPP lantaran melakukan pelanggaran etika dalam pemilihan legislatif.
Sikap Koalisi Merah Putih sungguh memprihatinkan.
Mereka terlihat belum bisa menerima kekalahan serta terus mencari celah hukum dan politik untuk mendelegitimasi presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Selain berancang-ancang membentuk pansus, mereka menggugat keputusan Komisi Pemilihan Umum ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pelbagai manuver itu akan sia-sia dan hanya membuat rakyat bingung.
Majelis hakim konstitusi jelas menyatakan tak ada pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilihan presiden.
Orang tahu putusan MK ini bersifat final dan mengikat.
Tak ada lembaga lain, termasuk DPR dan PTUN, bisa mengoreksi putusan itu.
Para anggota DPR juga tak konsisten. Mereka tidak percaya kepada KPU dalam soal hasil pemilihan presiden, namun para politikus itu tak memersoalkan hasil pemilihan legislatif ditetapkan lembaga sama.
Partai-partai pendukung Prabowo-Hatta, menguasai 60 persen lebih kursi di DPR, seharusnya bersikap bijak.
Kekuasaan besar ini tak bisa digunakan sewenang-wenang merusak hasil pemilihan presiden dan putusan MK.
Mereka bisa menggunakan kekuatan mengontrol dan mengkritik kebijakan pemerintah, tetapi bukan mengingkari hasil demokrasi dan putusan MK.
Demokrasi bukanlah peperangan.
Pihak kalah seharusnya berlapang dada.
Kubu Prabowo-Hatta semestinya resmi memberikan ucapan selamat kepada sang pemenang, bukannya melakukan manuver politik dan hukum tiada berkesudahan.
*******
Opini/Tempo.co