Garut News ( Selasa, 25/03 – 2014 ).
Sungguh berbahaya jika pemerintah ngotot memertahankan subsidi bahan bakar minyak.
Tak ada satu pun alasan sahih bisa digunakan pemerintah menahan kenaikan harga BBM.
Tak juga pemilihan umum berlangsung dua pekan lagi.
Keadaan ekonomi mengharuskan pemerintah tak bisa lagi memertahankan subsidi BBM terus membesar.
Tahun ini, pemerintah menganggarkan subsidi bahan bakar Rp210,7 triliun.
Selain mengurangi beban anggaran (fiskal), dana subsidi bisa direalokasikan mengentaskan warga miskin atawa memercepat pembangunan infrastruktur.
Lagi pula, anggaran subsidi sebesar itu jelas tak cukup.
Mengacu pada kenaikan konsumsi BBM, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar, subsidi BBM tahun ini diperkirakan bisa meledak menjadi Rp267 triliun.
Jumlah itu setara 2,6 persen produk domestik bruto atawa lebih besar daripada anggaran infrastruktur Rp206 triliun.
Perkiraan itu masuk akal.
Selama bertahun-tahun, anggaran subsidi bahan bakar tak pernah bisa menutupi kenaikan konsumsi.
Pada 2011-2012, ekses anggaran subsidi BBM mencapai Rp110 triliun.
Tahun lalu, kekurangan subsidi diperkirakan sebesar Rp30-40 triliun.
Hal ini terjadi lantaran konsumsi BBM memang tak bisa dibendung.
Penjualan mobil dalam dua tahun terakhir sangat fantastis, 2,34 juta unit.
Tahun ini, 125 juta mobil siap turun ke jalan.
Program mobil murah, dan ramah lingkungan terbukti hanya menambah konsumsi BBM bersubsidi, padahal mobil ini dirancang menggunakan BBM nonsubsidi.
Kebijakan pengendalian BBM bersubsidi juga banyak masih berada di laci.
Celakanya, produksi minyak Indonesia juga terus berkurang.
Target lifting minyak di APBN tak pernah bisa dicapai.
Tahun ini, minyak bisa dijual ditargetkan sebesar 870 ribu barel.
Kenyataannya, minyak bisa diangkat hanya 798 ribu barel.
Kondisi ini mengakibatkan kesenjangan antara produksi, dan konsumsi kian melebar.
Tak pelak, situasi itu memunculkan masalah struktural lain, pelemahan nilai tukar rupiah.
Setiap bulan, Indonesia mengimpor minyak mentah, dan BBM rata-rata US$ 2-3 miliar.
Tingginya impor itu mengakibatkan tekanan terhadap rupiah bersifat permanen, dan berlangsung sepanjang tahun.
Karena itu, pengurangan subsidi tak perlu menunggu pemerintah baru, Oktober nanti.
Ketimbang membuat pelbagai kebijakan pengendalian konsumsi BBM, menaikkan harga jelas pilihan lebih efektif.
Bank Dunia membuat dua skenario.
Jika harga Premium dinaikkan Rp2.000 per liter dan solar Rp 1.000 per liter, subsidi bisa dihemat Rp45 triliun.
Kalau harga BBM bersubsidi dinaikkan sampai setengah dari harga keekonomiannya, subsidi berkurang Rp68,8 triliun.
Tahun lalu, Pertamina mengklaim terdapat penghematan bahan bakar bersubsidi sebesar Rp8 triliun setelah pemerintah menaikkan harga pada Juni.
Tak ada salahnya mengulang kebijakan terbukti manjur.
Inilah saatnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninggalkan warisan baik, dan bukan masalah buruk, pada penerusnya nanti.
*****
Opini/Tempo.co