Rabu , 16 Agustus 2017, 01:00 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Salamun *)
Alhamdulillah, Akhir-akhir ini, Pancasila menjadi trending topics yang sangat hangat. Ini menunjukkan, semua elemen anak bangsa ini masih tinggi rasa memiliki atau setidaknya masih perhatian terhadap Pancasila.
Yang kemudian menggelitik adalah ketika diskursus tentang Pancasila ini selain momentum tentang kelahirannya juga yang menurut hemat saya adalah karena adanya pandangan sebagian elemen anak bangsa terhadap yang lain bahwa ada yang merongrong atau setidaknya mengganggu keber-Pancasila-an bangsa Indonesia.
Pancasila merupakan milik bangsa Indonesia. Sebagai kalimat persatuan (kalimatun sawa–kalimat yang sama) yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, dalam konteks kehidupan sejarahnya sejak dari zaman purba, kerajaan, kolonialisasi, hingga dirumuskan menjadi dasar kemerdekaan bangsa ini.
Rentang waktu antara Mei sampai Agustus 1945–72 tahun yang lalu–menjadi bagian momentum yang sangat penting dalam babakan sejarah bangsa Indonesia.
Kelahiran Pancasila
Dalam konteks sejarah menuju kemerdekaan, setidaknya terdapat lima atau enam rumusan Pancasila. Pertama, pada tanggal 29 Mei 1945, di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Mr Muhammad Yamin mengusulkan rumusan dasar negara Indonesia sebagai berikut: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, dan 5. Kesejahteraan Rakyat.
Namun secara tertulis, beliau menyampaikan konsep yang berbeda, yaitu: 1. Ketuhanan yang Maha Esa, 2. Kebangsaan Persatuan Indonesia, 3. Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarat perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kedua, pada tanggal 31 Mei 1945, Dr Soepomo menyampaikan: 1.Persatuan, 2. Kekeluargaan, 3. Keseimbangan lahir dan batin, 4. Musyawarah, dan 5. Keadilan rakyat.
Ketiga, Ir Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari: 1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia), 2. Internasionalisme (Peri Kemanusiaan), 3. Mufakat (Demokrasi), 4. Kesejahteraan Sosial, dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa (Berkebudayaan).
Sebagai negarawan Ir Soekarno berhasil meramu dinamika pemikiran yang berkembang sebagaimana dilontarkan oleh para tokoh Bangsa lainnya dan mengusulkan penyebutan dasar kemerdekaan negara tersebut ialah Pancasila. Yudi Latif (2011) dalam bukunya Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, secara apik menukilkan pidato Bung Karno saat itu : “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya, kenapa saya diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan kembali kepada bangsa Indonesia”.
Keempat, Pancasila yang tertuang dalam Naskah Piagam Jakarta yang dirumuskan oleh BPUPKI (Panitia Sembilan) pada tanggal 22 Juni 1945 yang beranggotakan Soekarno, Achmad Soebardjo, Abdul Kahar Muzakkir, Alex Andries Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Mohammad Hatta, Abdul Wahid Hasyim, Agus Salim, dan Mohammad Yamin.
Rumusannya adalah : 1. Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya, 2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan-Perwakilan, dan 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima, ialah Pancasila yang tertuang dalam Piagam Jakarta yang disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembukaan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “ Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian jika ditilik dari konteks sejarah, karena ada istilah kelahiran, maka babakan sejarah itu dapat dikaji dari beberapa tahapan. Tahapan ‘perkenalan’ ialah masa sejak hadirnya bangsa Indonesia sejak zaman purba hingga menjelang kemerdekaan. Saat digelarnya sidang BPUPKI pada 29 Mei sampai 1 Juni sebagai momentum lamaran dimana berbagai keinginan luhur termasuk Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang Pancasila.
Dirumuskannya Piagam Jakarta (22 Juni) adalah momentum perkawinan antara seluruh elemen anak bangsa yang direpresentasikan oleh Panitia Sembilan, dan 18 Agustus 1945 merupakan kelahiran The Final of Pancasila yang kita gunakan saat ini sebagai Dasar Negara. Iya-nya merupakan anak kandung syah dari proses perkawinan dan pembuahan antara benih agamis-religius (ketuhanan) dan nasionalisme. The Final of Pancasila merupakan persembahan kado terindah dari para pendiri bangsa yang tentu saja sudah melalui proses dialektika yang dinamis.
Dengan demikian, rumusan Pancasila sesuai tahapan di atas memiliki eksistensi masing-masing yang merupakan bagian dari sejarah pergulatan pemikiran dan sikap para pendiri bangsa kita yang harus dihormati, sehingga tidak ada alasan untuk menegasikan diantara yang ada.
Piagam Jakarta dan islamofobia
Wacana yang sempat muncul untuk menghidupkan kembali Pancasila sesuai rumusan Piagam Jakarta barangkali menjadi tidak relevan karena akan ‘menodai’ proses final tersebut dan akan ‘melukai’ nilai-nilai kebhinekaan. Kebebasan–dengan segala konsekuensinya–menjalankan ajaran agama sudah diamanahkan dalam Pasal 29 UUD 1945.
Meskipun demikian, Piagam Jakarta ialah memiliki eksistensinya sendiri sebagai bagian dari proses perjalanan menuju pintu gerbang kemerdekaan. Mengingkari Piagam Jakarta sama halnya mengingkari terbitnya matahari yang sekaligus menjadi sumber energi sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa.
Ketakutan terhadap Islam dan semua agama yang ada dan tumbuh berkembang di bumi pertiwi adalah ketakutan yang tidak memiliki dasar apapun. Kita justru harus bersama-sama mewaspadai gerakan global violenisme (ideologi kekerasan) dan atau terorisme yang dilakukan oleh siapapun. Jika ada orang baik secara individual maupun komunal melakukan kekerasan terhadap sesama manusia, maka dapat dipastikan dia memahami agama secara dangkal. Karena hakekatnya, tidak ada satupun ajaran agama Tuhan yang membenarkan adanya kekerasan terhadap sesama.
72 tahun kemerdekaan hendaknya kita semakin arif dan bijaksana dalam mengisi kemerdekaan dengan tetap mengedepankan sikap saling memahami dan menghargai keberagaman suku bangsa, agama dan keyakinan. Sekiranya setiap anak bangsa ini memahami agama dan keyakinannya masing-masing dengan baik, maka Insya Allah tidak perlu ada ungkapan-ungkapan provokatif yang didasari dengan kebencian yang kadang hanya berlatar belakang berbeda kepentingan politik praktis semata.
Jika kalian seorang penggiat politik (politisi) cukuplah kalian melakukan kerja-kerja konkrit sehingga orang punya alasan untuk memberikan kepercayaan dan pilihan kepada kalian. Ujaran kebencian dengan mendiskreditkan kompetitor politik tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali hanya menunjukkan kekurangan dan ketidak mampuan diri. Berbuat, bekerja dan bertuturlah sebaik-baiknya dan biarkan rakyat menilai sendiri siapa yang patut mereka percaya dan dititipi amanah. Wallahu A’lam bish-shawab.
*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. Email: salamun.ms15@gmail.com
********
Republika.co.id