Obsesi Kecepatan

Obsesi Kecepatan

712
0
SHARE

– Dian R. Basuki, peminat masalah sains
 
Jakarta, Garut News ( Senin, 10/11 – 2014 ).

Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).

Apakah Anda merasakan perubahan dalam diri Anda: cenderung kian tidak sabar manakala akses Internet begitu lelet, merasa kesal tatkala proses loading laptop terasa lamban, atau uring-uringan ketika jalanan padat membuat Anda sukar berkendara dengan cepat.

Banyak orang cenderung menetapkan kecepatan sebagai fitur kunci dalam memilih produk dan jasa: telepon seluler, tablet, sepeda motor, mobil, jasa kurir, transportasi, pesan-antar makanan, apa lagi?

Nyaris dalam setiap hal, kecepatan menjadi ukuran untuk menentukan kualitasnya. Semakin cepat, semakin bagus. Semakin cepat, semakin mahal.

Konsumen memiliki ekspektasi tinggi terhadap kecepatan. Restoran cepat saji akan memberikan bonus kepada konsumen bila hidangan tersaji lebih lambat dari yang dijanjikan.

Penumpang akan mendapat kompensasi bila kereta terlambat.

Perubahan dari mekanik ke elektronik telah meningkatkan kecepatan secara signifikan. Sebelumnya, pesan tidak terkirim dengan kecepatan melebihi pergerakan manusia, kuda, kereta, atau kapal.

Kini, kata, suara, informasi, dan gambar dapat ditransmisikan melewati jarak yang sangat jauh pada kecepatan yang amat tinggi.

Mengikuti perubahan teknologi ini, meningkat pula ekspektasi manusia terhadap kecepatan.

Kecepatan, sepertinya, telah menjadi obsesi masyarakat. Obsesi manusia terhadap kecepatan barangkali belum pernah sehebat sekarang.

Ketika kita mengirim pesan pendek dan jaringan telekomunikasi terganggu selama 1 menit, kita sudah merasa sangat kesal.

Bandingkan dengan masa ketika kakek kita mengirim surat dari Surabaya dan sampai di Jakarta paling cepat 1 minggu kemudian–pada masa itu, yang disebut ‘pos kilat’ memerlukan dua-tiga hari.

Dalam masyarakat kapitalistik (apatah kita bukan masyarakat kapitalistik?), kecepatan punya makna meninggalkan yang lain di belakang, membiarkan yang lain tertatih-tatih di tengah pacuan, menaruh orang-orang berjalan di pedestrian.

Obsesi kecepatan berarti kecemasan dan ketakutan untuk tertinggal-menjadi pendorong untuk membeli mobil baru yang lebih cepat, laptop yang lebih cepat, saham yang meroket.

Jeda, keterlambatan, berhenti, dan bergerak perlahan dianggap sebagai hilangnya kesempatan dan memberi keunggulan kepada pesaing.

Hasrat kita akan kecepatan meningkat sekian kali lipat-walaupun ini tidak selalu berujung pada peningkatan kualitas produk, jasa, maupun produktivitas.

Dengan pemakaian teknologi informatika, pembuatan e-KTP seyogianya bisa selesai dalam beberapa menit.

Dalam praktek, warga memperoleh e-KTP paling cepat satu minggu kemudian karena menunggu tanda tangan bapak/ibu camat.

Kontradiksi di dalam obsesi kecepatan.

Obsesi masyarakat tecermin di jalanan: pengendara sepeda motor, mobil, bus, pick-up, berpacu untuk segera sampai di tempat tujuan.

Karyawan ingin segera tiba di kantor, sayangnya bukan untuk langsung bekerja, melainkan mengobrol dulu dengan rekan sembari minum kopi.

Dalam obsesi kecepatan, ada ambiguitas, mungkin sejenis kerinduan akan irama dan tempo yang lebih lambat.

Tentu saja, kita memang harus membayar untuk obsesi ini. Speedaholic menjadikan stres meningkat, kegelisahan bertambah, ambiguitas yang menegangkan, dan keterasingan yang kian mencekam.

Kecepatan mengubah kimiawi otak kita, menyisakan sedikit waktu saja bagi kita untuk sempat menikmati wanginya aroma bunga mawar. *

*******

Kolom/Artikel : Tempo.co

SHARE
Previous articlePoster Bung Tomo
Next articleMenghemat Anggaran

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY