Nasionalisme Konsumen

Nasionalisme Konsumen

974
0
SHARE

Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

Garut News ( Sabtu, 10/05 – 2014 ).

Ilustrasi, Produk Dalam Negeri. (Foto: John Doddy Hidayat).
Ilustrasi, Produk Dalam Negeri. (Foto: John Doddy Hidayat).

Pada 11 Mei 2014, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) genap berusia 41 tahun. 

Secara historis, rekam jejak YLKI tak terlepas dari isu nasionalisme di belakangnya.

Lasmidjah Hardi, sang pendiri YLKI, adalah tokoh pejuang di zamannya, dan merupakan istri dari Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama (Hardi). 

Semula, YLKI hanya bernama YLK (Yayasan Lembaga Konsumen), dan pada 1974 ditambahkan kata “Indonesia” di belakangnya.

Penambahan kata Indonesia untuk menandaskan betapa nasionalisme dijunjung tinggi oleh para founding mothers YLKI.

Bahkan, latar belakang YLKI didirikan pun untuk membela kepentingan produk dalam negeri.

Kala itu pasar Indonesia banyak dibanjiri produk impor dengan kualitas rendah.

Tampaknya, pada konteks kekinian, peran historis YLKI masih tetap relevan untuk mengusung isu nasionalisme dalam ranah advokasinya.

Mengingat, pertama, globalisasi dan liberalisasi ekonomi tak urung hanya akan mengikis eksistensi produk dalam negeri.

Pun perilaku berkonsumsi konsumen nyaris hanya mempertimbangkan aspek afordabilitas (keterjangkauan) harga.

Tak begitu penting, produk itu berasal dari mana dan milik siapa.

Pragmatisme berkonsumsi jauh lebih dominan daripada aspek lainnya, termasuk nasionalisme (cinta produk dalam negeri), atau bahkan peduli pada lingkungan hidup.

Kedua, makin tidak jelas, apa yang disebut produk dalam negeri itu.

Boleh jadi produk tersebut dibuat di Indonesia dan dijual di Indonesia pula.

Tapi jika bahan baku produk tersebut 100 persen dari impor (contoh mi instan), apakah itu layak disebut produk dalam negeri?

Ketiga, gempuran produk impor tak selalu dibarengi dengan kualitas yang baik.

Boleh jadi produk impor itu adalah produk sampah yang sangat merugikan konsumen.

Sedangkan pengawasan di pasaran dan atau penegakan hukumnya terbukti masih kedodoran.

Pemerintah lumayan piawai saat membuat kebijakan pre market control, tapi tampak lunglai dalam menegakkan post market control.

Keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), yang merupakan advisory body bagi presiden dalam hal perlindungan konsumen, secara fungsional juga belum eksis benar.

Bahkan dalam beberapa hal tampak BPKN masih nyaman di bawah “ketiak” Kementerian Perdagangan.

Sebagai salah satu pilar ekonomi, posisi konsumen tak kalah strategisnya dengan pelaku usaha sebagai pemilik modal.

Ingat, Indonesia adalah pasar yang amat menggiurkaan bagi produsen mana pun di dunia.

Bayangkan saja, setiap tahun lahir 5 juta bayi di Indonesia (setara dengan penduduk Singapura).

Jelas itu merupakan obyek pasar yang membuat produsen dari negara maju ngiler dibuatnya.

Apalagi, menurut analisis Bank Dunia, posisi makro ekonomi Indonesia kini menduduki peringkat ke-10 besar dunia.

Itu terjadi karena pendapatan income per kapita Indonesia naik tajam.

Dengan kata lain, purchasing power (daya beli) konsumen juga makin menguat.

Namun ideologi konsumen harus dibangunkan agar saat berkonsumsi bukan hanya soal harga, bahkan bukan sekadar soal kualitas, melainkan aspek nasionalisme juga tak kalah penting.

Mengkonsumsi produk lokal berarti konsumen Indonesia ikut menjaga kesinambungan pelaku usaha lokal, petani, bahkan menjaga kelestarian lingkungan. *

*******

Kolom/Artikel : Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY