Red: Maman Sudiaman
Oleh : Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, Saya tidak pernah berhenti takjub akan para hafiz dan hafizah. Mereka tidak hanya menyediakan waktu secara khusus untuk membaca Alquran tapi juga menghafalkannya.
Bukan hal mudah mengingat 325.345 susunan huruf yang terjejer dalam 74.437 kalimat dalam 114 surat, dan 6.236 ayat. Butuh niat yang tulus, waktu, kesabaran, komitmen, dan kecerdasan tingkat tinggi. Sebuah perjuangan yang luar biasa.
Pertemuan saya dengan seorang keponakan kembali menumbuhkan kekaguman. Namanya Fathiya. Usianya baru 17 tahun, masih kelas tiga SMA. Namun sejak lama bercita-cita ingin menjadi dokter ahli hematologi-onkologi. Bahkan sebelum gadis belia ini mendapat vonis kanker.
Rumah sakit beberapa bulan terakhir telah menjadi keseharian. Kemoterapi menjelma rutinitas. Akan tetapi, dalam beratnya ujian hidup, remaja putri ini tetap menjalankan kegiatannya menghafal Alquran dan baru saja menggenapkan 30 juz.
Subhanallah. Semoga menjadi penguat terkabulnya doa, dan Allah memberinya kesembuhan.
Para hafiz dan hafizah ini, dengan kemampuan hafalannya telah turut serta menjaga Alquran. Karenanya bukan hanya dari sesama manusia, Allah SWT pun memberi penghargaan luar biasa.
“Mereka adalah keluarga Allah dan orang-orang yang istimewa bagi Allah.” Begitu sabda Rasulullah terkait para hafiz dan hafizah.
Di hadis lain sang Nabi menegaskan bahwa, “Allah tidak akan menyakiti orang yang hafal Alquran.” Keistimewaan luar biasa dari Pemilik alam semesta.
Lalu bagaimana fenomena mereka di Indonesia? Berita-berita di koran akhir-akhir ini sungguh mengusik hati.
Seorang hafiz, Nurul Fahmi, ditahan aparat atas dugaan melakukan tindakan melanggar hukum hanya karena membawa bendera merah putih bertuliskan kalimat tauhid. Pemuda yang sempat mendalami ilmu Alquran selama satu tahun di Madinah ini terancam lima tahun kurungan penjara sesuai dengan UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.
Penahanan ini membuat sang Hafiz tidak bisa menjalankan rutinitasnya membacakan Alquran setiap hari untuk Hafizatul, bayi kecilnya yang baru berusia hitungan hari. Alhamdulillah, penahanannya kemudian ditangguhkan dengan jaminan Ustadz Arifin Ilham, namun sayang kasusnya belum dihentikan.
Semoga Allah memberi kemudahan dan petunjuk bagi kita semua. Semoga keadilan ditegakkan. Sebab di saat yang sama foto-foto bendera merah putih bertuliskan Metallica, logo grup band Dream Theater, kalimat ‘Kami minta Ahok dibebaskan’ dengan bismillah di atasnya, wajah Iwan Fals, #KitaIndonesia beredar di sosial media tapi tidak satu pun dilakukan pengusutan
Kepada polisi, Nurul Fahmi menyatakan apa yang dilakukannya justru terinspirasi dari bendera BKR (Badan Keamanan Rakyat) di masa lalu yaitu merah putih dengan tulisan kalimat syahadat. Ia mengacu pada laskar Hizbullah yang berjuang melawan penjajah dan menjadi salah satu cikal bakal TNI.
KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan ketua majelis syuro Masyumi, membawa laskar Hizbullah dari Jombang ikut turun berjuang di Surabaya pada peristiwa 10 November. Di Ambarawa, pejuang Hizbullah dan TNI di bawah KH. Saifuddin Zuhri—ketua Hizbullah Kedu dan Magelang, ayah dari menteri agama Lukman Hakim—berjuang bersama Jendral Sudirman di Palagan Ambarawa. Sang kyai juga ikut rapat KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya saat mendeklarasikan Resolusi Jihad untuk mengusir penjajah.
TNI bahkan mengapresiasi pejuang Hizbullah. KH Sholeh Iskandar pendiri pimpinan Hizbullah di Bogor, KH. Yusuf Hasyim di Jombang, juga pemimpin lainnya diberi pangkat kapten, mayor hingga letnan kolonel.
Dengan sejarah yang begitu mulia, sulit mengatakan apa yang dilakukan sang hafiz adalah sebuah bentuk penodaan, sebagaimana dikatakan oleh Muzammil Yusuf dalam interupsinya di sidang DPR.
Sungguh tidak masuk nalar jika kata-kata mulia “Laa Ilaha Illalloh” dimaksud untuk menodai, menghina, dan merendahkan bendera negara sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
Berita lain tentang para penghafal Alquran diwarnai keberhasilan Musa La Ode Abu Hanafi yang berusia tujuh tahun, meraih peringkat ketiga pada ajang Musabaqah Hifzil Qur’an (MHQ) Internasional di Sharm El-Sheikh Mesir tahun lalu. Prestasinya mendapat apresiasi dari presiden. Tentu saja lebih indah jika prestasi para hafidz dan hafidzah ini juga selalu didukung pemerintah sebagaimana para atlet yang mendapat support penuh ketika berlomba di ajang internasional.
Saat mencari bahan untuk tulisan ini, tidak sengaja saya menemukan sebuah kisah pilu menimpa salah satu hafiz, Ustadz Asgar namanya. Setahun belakangan menderita tumor sinonasal, yang tumbuh pesat di jaringan otot pipi kiri hingga memenuhi sebagian rongga mulut.
Tak tersedianya biaya pengobatan, membuat sang penghafal Alquran ini hanya bisa terbaring tak berdaya. BPJS menanggung meski tidak sepenuhnya, padahal ada 20 jadwal kemoterapi yang harus dijalani. Sejauh ini penggalangan dana melalui media sosial berusaha menggerakkan umat untuk memberi dukungan- entah bagaimana responsnya namun semoga terus berlangsung- dan meringankan yang sakit, serta menjadi bukti betapa masyarakat memuliakan para hafiz dan hafizah.
Tulisan ini bukan ingin mengatakan bahwa hafiz dan hafizah butuh dihargai. Tanpa dihargai pun para penghafal Alquran telah memperoleh kedudukan khusus di hadapan Sang Pencipta. Akan tetapi semoga menjadi pengingat, justru kita yang sebenarnya perlu mengapresiasi keberadaan hafiz dan hafizah. Mereka yang telah disebut oleh Nabi dan dimuliakan Allah, sebab pada lisan, benak dan hatinya, hidup Alquran.
*********
Republika.co.id