Esay/Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Ahad, 26/02 – 2017 ).
Napak Tilas salah satu rangkaian perayaan “Hari Jadi Garut” (HJG) 2017 (16 Pebruari 1813 – 16 Pebruari 2017), merupakan upaya memaknai sejarah kabupaten tersebut, yang berawal pembubaran Kabupaten Limbangan pada 1811 oleh Daendels.
Lantaran produktivitas kopi Limbangan melorot hingga titik paling rendah nol, namun bupatinya menolak perintah menanam nila (indigo). Pada 16 Pebruari 1813, Letnan Gubernur di Indonesia waktu itu dijabat Raffles mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan kembali Kabupaten Limbangan beribu kota di Suci.
Tetapi keberadaan Suci dinilai tak memenuhi persyaratan sebab berkawasan cukup sempit, sehingga Bupati Limbangan Adipati Adiwijaya (1813-1831) membentuk panitia pencarian lokasi cocok bagi Ibu Kota Kabupaten.
Semula panitia menemukan Cimurah, sekitar tiga kilometer sebelah Timur Suci (kini dikenal Kampung Pidayeuheun). Juga di tempat itu air bersih sulit diperoleh maka tak tepat menjadi Ibu Kota. Selanjutnya mencari lokasi ke arah Barat Suci, sekitar lima kilometer mendapatkan lokasi cocok dijadikan Ibu Kota.
Selain bertanah subur, memiliki pula mata air mengalir ke Sungai Cimanuk, berpemandangannya indah dikelilingi gunung, terdiri Gunung Cikuray, Gunungapi Papandayan, Gunungapi Guntur, Gunungapi Galunggung, Gunung Talaga Bodas, serta Gunung Karacak.
Ketika ditemukan mata air berupa telaga kecil tertutup semak belukar berduri (Marantha), seorang panitia “kakarut” atau tergores tangannya berdarah. Dalam rombongan panitia seorang Eropa ikut membenahi atau “ngabaladah” tempat tersebut.
Menyaksikan tangan seorang panitia berdarah, langsung bertanya : “Mengapa berdarah?” Orang tergores menjawab, tangannya kakarut. Orang Eropa atau Belanda pun menirukan kata kakarut dengan lidah tak fasih menyebutkan “gagarut”.
Sejak itu, para pekerja rombongan panitia menamai tanaman berduri dengan sebutan “Ki Garut” dan telaganya dinamai “Ci Garut”. (Lokasi ini sekarang ditempati bangunan SLTP I, SLTP II, dan SLTP IV Garut).
Ditemukannya Ci Garut, maka daerah sekitarnya menjadi dikenal bernama Garut.. Cetusan nama Garut direstui Bupati Kabupaten Limbangan Adipati Adiwijaya, dijadikan Ibu Kota Kabupaten Limbangan.
Pada 15 September 1813 dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan sarana dan prasarana ibukota, di antaranya tempat tinggal, pendopo, kantor asisten residen, mesjid, dan alun-alun. Di depan pendopo, antara Alun-alun dengan pendopo terdapat “Babancong” tempat Bupati beserta pejabat pemerintahan menyampaikan pidato di depan publik.
Kemudian Ibu Kota Kabupaten Limbangan berpindah dari Suci ke Garut sekitar 1821. Berdasar Surat Keputusan Gubernur Jenderal No: 60 tertanggal 7 Mei 1913, nama Kabupaten Limbangan diganti menjadi Kabupaten Garut beribu kota Garut pada 1 Juli 1913.
Waktu itu, Bupati sedang menjabat adalah RAA Wiratanudatar (1871-1915). Kota Garut saat itu meliputi tiga desa, terdiri Desa Kota Kulon, Desa Kota Wetan, dan Desa Margawati. Sedangkan Kabupaten Garut meliputi Distrik-distrik Garut, Bayongbong, Cibatu, Tarogong, Leles, Balubur Limbangan, Cikajang, Bungbulang, dan Pameungpeuk.
Pada 1915, RAA Wiratanudatar digantikan keponakannya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929). Masa pemerintahannya tepatnya 14 Agustus 1925, berdasar keputusan Gubernur Jenderal, Kabupaten Garut disahkan menjadi daerah pemerintahan berdiri sendiri (otonom).
Wewenang bersifat otonom berhak dijalankan kabupaten ini dalam beberapa hal, yakni berhubungan dengan masalah pemeliharaan jalan-jalan, jembatan-jembatan, kebersihan, dan poliklinik.
Selama periode 1930-1942 Bupati yang menjabat Adipati Moh. Musa Suria Kartalegawa. Ia diangkat menjadi Bupati pada 1929 menggantikan ayahnya Adipati Suria Karta Legawa (1915-1929).
“Perkembangan Kota”
Hingga 1960-an, perkembangan fisik Kota dibagi menjadi tiga periode, masing-masing pertama (1813-1920) berkembang secara linear. Masa itu banyak didirikan bangunan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingan pemerintahan, berinvestasi usaha perkebunan, penggalian sumber mineral dan objek wisata.
Pembangunan pemukiman penduduk, terutama di sekitar Alun-alun, yang memanjang ke arah timur sepanjang jalan Societeit Straat.
Periode kedua (1920-1940), kota berkembang konsentris. Perubahan itu terjadi karena pada periode pertama diberikan proyek pelayanan bagi penduduk. Wajah tata kota mulai berubah dengan berdirinya beberapa fasilitas kota, stasiun kereta api, kantor pos, apotek, sekolah, hotel, pertokoan (milik orang Cina, Jepang, India dan Eropa), serta pasar.
Periode ketiga (1940-1960-an), perkembangan Kota Garut cenderung mengikuti teori inti berganda. Perkembangannya bisa dilihat pada zona-zona perdagangan, pendidikan, pemukiman, dan pertumbuhan penduduk.
Kemudian awal abad ke-20, kota mengacu pada pola masyarakat heterogen akibat arus urbanisasi. Keanekaragaman masyarakat dan pertumbuhan kota erat kaitannya dengan usaha-usaha perkebunan, dan objek wisata.
Orang Belanda berjasa pembangunan perkebunan, dan pertanian adalah K.F Holle. Mengenang jasa-jasanya, pemerintah Kolonial Belanda mengabadikan nama Holle menjadi nama jalan di Kota Garut, Jalan Holle (Jalan Mandalagiri), dan membuat patung setengah dada Holle di Alun-alun Garut.
Pembukaan perkebunan diikuti pula pembangunan hotel-hotel pada 1917.
Merupakan tempat menginap dan hiburan para pegawai perkebunan atau wisatawan luar negeri. Terdiri Hotel Papandayan, Hotel Villa Dolce, Hotell Belvedere, dan Hotel Van Hengel.
Di luar kota terdapat Hotel Ngamplang Cilawu, Hotel Cisurupan, Hotel Melayu Tarogong, Hotel Bagendit Banyuresmi, Hotel Kamojang Samarang, dan Hotel Cilauteureun Pameungpeuk. Berita indahnya kota tersebar ke seluruh dunia, menjadikan Kota Garut tempat pariwisata dikenal dengan sebutan “Swiss van Java”.
*********
Pelbagai Sumber