Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( kamis, 09/07 – 2017 ).
Bila tak ada aral, hari ini kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau “e-KTP” mulai disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, surat dakwaan untuk terdakwa Sugiharto dan Irman akan membeberkan “nama-nama besar” yang bisa menimbulkan guncangan politik.
KPK tak boleh berhenti dengan hanya menyebutkan puluhan nama itu, melainkan mesti mengusutnya hingga tuntas dan membawa mereka ke pengadilan.
Dirancang sejak 2010, proyek e-KTP seharusnya bisa membereskan persoalan administrasi kependudukan yang amburadul. Belakangan, proyek ini malah jadi bancakan para politikus. Dari Rp 5,9 triliun nilai proyek, sebanyak Rp 2,3 triliun diperkirakan diembat.
Sekitar Rp 1 triliun di antaranya ditengarai mengalir ke kantong politikus di Dewan Perwakilan Rakyat dan pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Akibatnya, proyek yang ditargetkan beres pada 2014 ini tak kunjung rampung. Ada tujuh juta warga negara yang belum mengantongi KTP elektronik.
Yang juga mengkhawatirkan, data pribadi penduduk rawan bocor setelah salah satu subkontraktor, sebuah perusahaan asing, yang menangani perekaman dan penyimpanan data, mogok kerja akibat tak dibayar oleh konsorsium pemenang lelang. Perusahaan ini masih memegang kunci untuk mengakses data tersebut.
Sembari KPK terus mengusut pelaku lain, jaksa mesti sekuat tenaga menghadirkan saksi ke persidangan. Ada 294 saksi untuk terdakwa Sugiharto dan 73 saksi untuk terdakwa Irman, keduanya pejabat Kementerian Dalam Negeri. Karena bakal menyenggol para pembesar, KPK sebaiknya menggandeng Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk melindungi saksi kunci.
Selain demi keselamatan, para saksi harus dijaga agar tak dipengaruhi untuk mengubah keterangan dalam penyidikan oleh mereka yang berpotensi terseret.
Upaya mempengaruhi saksi sudah terjadi selama penyidikan perkara ini. Ada kabar seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat semula mengakui telah menerima uang e-KTP. Belakangan, politikus tersebut mengubah kesaksiannya karena diduga mendapat tekanan.
Untuk mereka yang bersaksi lancung, KPK tak perlu ragu menggunakan Pasal 22 Undang-Undang Antikorupsi tentang kesaksian palsu. Pasal ini pernah dipakai menjerat Said Faisal, ajudan Gubernur Riau Rusli Zainal, yang berbohong di pengadilan untuk melindungi atasannya. Pada Juli 2014, Said dihukum 7 tahun penjara karena terbukti memberikan keterangan yang bukan sebenarnya.
Dalam persidangan, majelis hakim harus berani memanggil nama-nama yang disebut terlibat. Jangan sampai timbul syak-wasangka bahwa majelis melindungi mereka. Dengan kekuasaannya, hakim bisa memerintahkan penjemputan paksa terhadap saksi yang terus-menerus mangkir.
Ini penting untuk menegakkan wibawa pengadilan dan, tentu saja, untuk membuat perkara yang bergulir di persidangan jadi terang-benderang.
*********
Tempo.co