Amiruddin al-Rahab
Pemerhati Politik, DE RIDEP Institute
Garut News ( Kamis, 31/07 – 2014 ).
Sudah saatnya Indonesia merawat adab dan ingatan politiknya di museum, bukan lewat gosip.
Sebab, dari pemilu presiden 2014 yang telah usai ini, hanya dua yang tersisa: kenangan dan berkas-berkas (arsip).
Kenangan hidup dalam pikiran dan perasaan, tapi ia cepat pudar.
Berkas-berkas tidak akan pudar, tapi ia bisu.
Diperlukan satu medium untuk membuat kenangan dan berkas bisa bersatu dan hidup bertenaga, yaitu museum.
Pilpres 2014 ini sungguh fenomenal dalam sejarah politik Republik Indonesia.
Pilpres ini seakan menciptakan lorong pengisap yang kuat, yang mampu menyedot siapa saja ke dalamnya.
Seorang ibu rumah tangga yang tidak melek politik tiba-tiba jadi begitu antusias, bahkan emosional tingkat tinggi saat membicarakan pilpres.
Nah, bagaimana peristiwa fenomenal itu bisa menjadi pembelajaran bagi segenap rakyat Indonesia ini kelak?
Misalnya lima sampai 50 tahun lagi?
Tak ada cara selain pengarsipan yang baik, dengan klasifikasi yang tepat.
Arsip tentu hanya akan menjadi konsumsi peneliti-peneliti.
Sedangkan museum adalah sarana untuk memperagakan sesuatu agar mudah dicecap oleh khalayak umum secara gampang dan cepat.
Ada beberapa hal yang bisa ditampilkan di museum dalam kaitan dengan pilpres 2014.
Pertama, kisah dari perjalanan hidup Jokowi, dari menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, sampai ditahbiskan oleh Megawati menjadi petugas partai untuk menjadi capres.
Pidato Megawati yang menugasi Jokowi nyapres itu merupakan pertanda berubahnya generasi dan tradisi politik di dalam PDI Perjuangan sendiri.
Megawati bersedia turun takhta demi Jokowi.
Karena itu pula Megawati berurai air mata ketika Jokowi menjadi juara dalam hitung cepat dan tersenyum simpul ketika KPU menetapkannya sebagai pemenang.
Kedua, kisah perjalanan hidup Prabowo, yang begitu kembali ke kancah politik dengan kendaraan Partai Gerindra pada 2009 langsung membetot perhatian Megawati, sehingga didapuk menjadi calon wakil presidennya.
Track record Prabowo, yang sebelumnya begitu hitam di mata reformasi, meski kalah, sirna ketika itu.
Hal ini berlanjut dengan aksi-aksi Prabowo dalam mengalang dukungan sebagai capres pada 2014 dengan Rumah Polonia sebagai sentrumnya.
Kemudian ditutup dengan gayanya menunggang kuda dengan keris di perut dan bendera Garuda Merah di Gelora Bung Karno.
Jika dua momen itu dibuat menjadi diorama, betapa menggentarkan.
Seorang Megawati menghantar dua pria perkasa untuk bertarung dalam pilpres 2014.
Keduanya adalah sosok temuannya sendiri dalam panggung politik Indonesia.
Ketiga, yang perlu dimuseumkan secara serius adalah penggalangan kampanye hitam yang telah membongkar isi perut dan kepala orang-orang Indonesia.
Puncaknya adalah penerbitan tabloid Obor Rakyat dan selebaran jenis lainnya dengan kandungan yang sama.
Tabloid Obor Rakyat menunjukkan betapa hina-dinanya nafsu kuasa yang dimiliki oleh sebagian rakyat Indonesia.
Ia harus menjadi pembelajaran bagi siapa pun.
Mengutak-atik masalah keyakinan, keturunan, asal-usul, dan ras seseorang dalam pacuan politik bukanlah hal yang wajar, melainkan mengkhianati konstitusi negeri ini.
Keempat, munculnya fenomena “Organisasi Tanpa Bentuk” (OTB) yang disebut sebagai relawan.
Relawan Dua Jari itu mesti menjadi diorama yang menarik.
Konser Dua Jari di Gelora Bung Karno, Senayan, perlu menjadi ikon utamanya.
Seluruh pernak-pernik kesukarelawanan itu harus bisa ditampilkan.
Pesannya harus jelas, bahwa partisipasi politik rakyat adalah kegembiraan spontan yang bisa menjebol dan membangun rajutan solidaritas tanpa pamrih.
Mobilisasi para massa bayaran telah tampak usang di situ.
Kelima adalah arena bermain KPU.
KPU sebagai aktor utama penyelenggaraan pilpres 2014 ini, dengan wasitnya Bawaslu, perlu ditunjukkan dengan saksama.
Wajah Ketua KPU Husni Kamil Manik, yang kalem dan tenang dalam menghadapi serangan para saksi capres, mesti moncer di sini.
Tentu juga segala daya dan upaya petugas KPU untuk menjangkau daerah terpencil dan TPS-TPS yang unik.
KPU adalah penjaga gawang pilpres yang sepak terjangnya harus disimak dengan saksama demi mutu pilpres-pilpres pada masa datang.
Keenam, deretan spanduk, baliho, poster, graffiti, buku, naskah visi-misi, debat-debat, serta tentu saja seragam dan baju-baju unik para capres dan timsesnya.
Semua item itu menunjukkan watak, perangai, dan warna politik setiap kelompok.
Jangan lupa pula infografis wilayah-wilayah pemilihan.
Perang para jenderal purnawirawan dan SK DKP pemberhentian Prabowo di sini lokasinya.
Tak kalah serunya adalah manuver polisi dan TNI dalam rangka mengamankan jalannya seluruh proses pilpres.
Ketujuh, tentu saja perseteruan antar-stasiun TV serta media cetak dan online, yang dilengkapi dengan pertarungan antar-tukang survei dan antar-konsultan politik mesti mendapat tempat dalam sejarah pilpres.
Sebab, ia menjadi bumbu penyedap utama.
Singkatnya, museum pilpres ini perlu didirikan.
Sebab, di dalam museum itulah kita merawat kenangan, sekaligus menjadi tempat becermin kelak dalam mengukur adab politik bangsa ini.
Mari museumkan pilpres kali ini.
*******
Kolom/Artikel : Tempo.co