Kamis , 04 Mei 2017, 16:52 WIB
Suara Mahasiswa
Red: Fernan Rahadi
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wisnu Al Amin*
Penyakit kebangsaan yang kini menjangkiti bangsa Indonesia adalah persoalan mental politik. Arogansi dalam persidangan oleh anggota dewan, pernyataan para birokrat yang miskin gagasan cita-cita agung, berkobarnya ego-sentris aktor politik, tindakan politik berdasarkan mental uang, dan pembelaan politik berdasarkan mental suap.
Hal tersebut merupakan beberapa kondisi sakitnya bangsa Indonesia yang dapat kita jumpai di media cetak dan elektronik. Syarat diakuinya eksistensi suatu negara salah satunya adalah adanya pemerintah. Pemerintah merupakan pihak yang memegang mandat rakyat untuk membawa perjalanan bangsa.
Kalau pemerintahnya sudah terpenuhi, maka perkara selanjutnya yang harus dilihat adalah kualitas pemerintah. Pemerintah itulah pelaku/aktor politik aktif.
Pemerintahan Jokowi menggadang-gadang Revolusi Mental bagi rakyat Indonesia. Rujukannya adalah pikiran Soekarno. Konsekuensinya, Pemerintahan Jokowi tidak bisa mengambil hanya sebagian saja. Ada istilah, ‘tidak bisa kita membenci pohon, tanpa membenci akarnya’.
Apabila pemerintahan Jokowi berkaca model Soekarno, maka harus mempertimbangkan orang-orang sekitar Soekarno dan zaman yang membentuk Soekarno. Tetapi pertanyaannya, Apakah sanggup pemerintahan Jokowi benar-benar menggunakan kaca kebangsaan kepunyaan Soekarno?
Kalau saja para pelaku pemerintahan saat ini mengambil jalan keinsyafan politik., getaran masa depan bangsa dapat terasa perlahan. Masa depan bangsa yang bukan saja persoalan pembangunan infrastruktur, tetapi juga kualitas manusia bangsanya.
Sebagaimana Soekarno (1930) telah menebar benih penyubur nasionalisme, melalui tiga akar ingatan kebangsaan masa silam yang indah, masa sekarang yang gelap gulita, dan janji-janji suatu masa depan yang melambai-lambai berseri-seri. Sebelum mempertanyakan tindakan anak bangsa, terlebih dahulu tengoklah tatanan nasionalisme dalam dirinya. Tatanan itu dapat tampak dari cara berpolitiknya bagi bangsa.
Kedewasaan berpolitik adalah identitas pelaku politik bangsa Indonesia generasi awal. Betapa tidak, Sultan Hamid II (1950) memegang mandat penyusunan lambang negara Indonesia ‘Garuda’ yang mana digunakan sampai saat ini.
Di saat bersamaan, Sultan Hamid II adalah oposisi politiknya Presiden Pertama RI. Bahkan tatkala Soekarno berada di pengasingan Ende, Flores Soekarno membutuhkan sosok Tuan A Hassan melalui kirim surat. Secara ideologi politik keduanya sangat berseberangan. Namun, keduanya saling berkirim surat dari tahun 1934 sampai 1936. Soekarno dengan gamblang membutuhkan bantuan kiriman buku-buku bacaan dari Tuan A Hassan.
Komunikasinya berbeda dengan murid emasnya Tuan A Hassan, M Natsir. Soekarno dengan M Natsir berkelahi otak. Keduanya berpolemik selama 6 tahun (1934-1940). Soekarno melalui ‘Islam Sontoloyo’ dan Pikiran-pikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran Islam, adapun M Natsir mengkritiknya melalui tulisan-tulisannya dengan bingkai ‘Islam dan Akal Merdeka’.
Polemik antar M Natsir dengan Soekarno adalah polemik yang tiada tandingan dalam sejarah bangsa Indonesia. Keduanya bersandar pada penggunaan ketinggian akal budi dan penegakan rasa hormat. Tapi, keduanya ialah sosok percontohan politik bangsa.
Pada tahun 1950, M Natsir juseru diangkat menjadi Perdana Menteri. Padahal kepala negaranya adalah Soekarno sendiri. Walaupun, pada akhirnya M Natsir mengembalikan mandat tersebut sebelum genap masa jabatan setahun.
Konstituante 1957 merupakan bukti sidang politik yang bertopang di atas ketinggian intelektualitas. Ketajaman argumentasi anggota sidang memaksa terpecahnya pandangan mereka terhadap rumusan dasar negara. Udara persidangan diisi dengan hembusan konfrontasi gagasan antara kelompok Islam dan Non Islam (Pancasila dan Sosial Ekonomi).
Aktor-aktor politik dari kelompok Islam di antaranya adalah Muhammad Natsir, Prof H Abdul Kahar Muzakkir, Hamka, KH M Isa Anshary, Mr Kasman Singodimedjo. Sosok Wikana dan Njoto dari Partai Komunis Indonesia (PKI), kemudian Sutan Takdir Alisjahbana dan Soedjatmiko adalah perwakilan Partai Sosialis Indonesia (PSI), serta Arnold Mononutu dari Partai Nasional Indonesia (PNI).
Di dalam perseteruan politik saat Konstituante 1957 hampir-hampir tidak pernah kita diperlihatkan tulisan-tulisan yang menjelaskan tentang baku hantam di dalam persidangannya, lempar kursi meja, intimidasi, walk-out berjamaah dari partai tertentu.
Malahan, ada tulisan yang mengungkapkan bahwa ketika sedang di luar sidang tokoh-tokoh Masyumi beramah-tamah dengan tokoh-tokoh PKI sambil minum kopi bersama. Sidang Konstituante 1957 boleh jadi merupakan persidangan dengan perseteruan argumentasi ideologi politik yang tiada tandingan dalam sejarah bangsa Indonesia.
Sosok Guru Politik Bangsa, HOS Tjokroaminoto, menanamkan tindakan politik bangsa yang berkelanjutan. Murid-muridnya adalah Soekarno, Alimin, Musso, Hamka, Semaoen, dan Kartosoewirjo. Tiga ideologi politik (Islamis, Nasionalis, dan Komunis) di atap satu guru politik.
Barangkali seperti ini gambaran pendidikan politik di Gang Peneleh. Sosok Tjokroaminoto mengantarkan pesan kepada aktor-aktor politik bangsa bahwa keputusan politik tidak harus membeo dengan atasan. Kemerdekaan politik bagi murid-muridnya merupakan buah dari benih yang ditanamkannya, yaitu kesadaran kondisi bangsa.
Akhirnya, kita sebagai bangsa harus bersyukur sekaligus bermuhasabah, terutama pelaku-pelaku politik bangsa saat ini. Kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini, para politikus yang terjerat kasus karupsi dan suap, suasana parlemen yang lepas dari pondasi kejujuran intelektualitas, dan sikap hukum yang lepas dari landasan keadilan.
Tidakkah disaksikan betapa malunya kita apabila menjadi pelaku politik tetapi tidak sedang berada di jalan panjang atas usaha cita-cita kemerdekaan bangsa yang bernama Indonesia. Jawaban ‘Revolusi Mental’ pemerintahan Jokowi hanya dapat terjawab apabila terlebih dahulu menjawab: Sudah sampai mana muhasabah politik bangsa dilakukan?.
Menyaksikan bagaimana kualitas perpolitikkan saat ini dipertontonkan. Dapatkah menjadi inspirasi bagi generasi bangsa? Selayaknya pertentangan Soekarno dan Natsir berpolitik. Menonton budaya anggota dewan ketika sidang. Layakkah menjadi tinta sejarah bangsa? Sebagaimana sidang Konstituante 1957.
Mendengarkan para aktor politik berpidato. Sudahkah sesuai garis panjang cita-cita ideologis bangsa? Sebagaimana Tjokroaminoto dalam suara cita-citanya merintis kemerdekaan bangsa. Mempertanyakan pemimpin bangsa dalam mengambil keputusan politik.
Apakah membeo kepada orang-orang pengusung dan/atau bangsa lain atau berpijak pada intelektualitasnya di atas ideologi bangsa? Apakah sikap bangsa mengarah kepada mental pengemis yang mencari belas kasihan atau sikap jati diri bangsa yang garang serta rela lapar demi cita-cita?
Mental politik bangsa, bila sudah rusak, tak perlulah takut dimasukkan bengkel untuk diperbaiki sampai normal, atau kalau perlu membeli suku cadang yang baru. Karena memang hanya dua itu solusinya. Mental politik bangsa adalah keberanian, kemerdekaan, kecerdasan, dan konfrontasi. Tidak ada keraguan atas unsur-unsur tersebut.
Maka, Natsir pernah berpesan “Leaders are made if you do not hesitate to confront certain situations. I don’t mean in a physical manner but with innovations and non-violence. This is confrontation of ideas, the non-material confrontation, is sometimes neglected”. Hal demikian disebabkan founding fathers bangsa telah meletakkan dasar politiknya berdasarkan konfrontasinya kepada kapitalisme dan imperialisme.
Muhasabah politik ialah memaksudkan agar jangan sampai pelaku politik bangsa menggunakan wajah parasit imperialisme. Lebih jauh, agar anak bangsa tetap berada pada jejak dewasa berpolitik. Apabila tak tahan dengan pantangan, alangkah lebih baiknya undurkan diri, karena itu lebih terhormat atau hanya akan menampakkan ketamakan politik.
*Aktivis Jama’ah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada
********
Republika.co.id