Red: Maman Sudiaman
Oleh : Nasihin Masha
REPUBLIKA.CO.ID, UUD 1945 sudah dilanggar sejak awal. Konstitusi ini menganut sistem presidensiil namun pada 14 November 1945, tiba-tiba Indonesia menganut sistem parlementer. Padahal konstitusinya masih UUD 1945.
Pasal 4 Ayat (1) berbunyi: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Sehingga perubahan sistem pemerintahan tersebut nyata-nyata melanggar konstitusi ini.
Pemegang kekuasaan pemerintahan bukan lagi presiden tapi perdana menteri. Hal itu sama sekali tak ada dalam UUD 1945. Lahirnya UUD RIS pada 27 Desember 1949 tentu lebih dahsyat lagi. UUD 1945 bukan hanya dilanggar seperti saat perubahan sistem pemerintahan tapi juga mencampakkan UUD 1945. Konstitusi RIS bukan hanya mengubah sistem pemerintahan tapi juga bentuk negara.
Indonesia tak lagi berbentuk negara kesatuan tapi federal. Dalam Pasal 1 UUD 1945 jelas tertulis: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Konstitusi RIS merupakan kompromi terlalu jauh dengan Belanda yang tak mau melepas Indonesia.
Konstitusi ini dampak Konferensi Meja Bundar, yang menghasilkan pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia. Namun, dengan dibentuknya Uni Indonesia-Belanda, Indonesia harus mengakui Ratu Belanda sebagai kepala negara persekutuan ini.
Tak hanya itu, Indonesia harus berutang 4,3 miliar gulden kepada Belanda karena biaya dua kali agresi Belanda ke Indonesia dihitung menjadi utang Indonesia. Republik Indonesia, diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 hanya berwilayah Yogyakarta.
RIS terdiri atas tujuh negara bagian dan sembilan wilayah otonom yang tak tergabung dengan RIS. Keberadaan wilayah otonom ini berarti wilayah Indonesia menjadi berkurang yaitu Jawa Tengah, Kalimantan, Bangka, Belitung, dan Riau.
Hasil KMB menyebutkan, Irian Jaya (Papua) masih di bawah Belanda dan akan diselesaikan dalam satu tahun. Hasil KMB pun menyatakan Belanda berhak bersekutu langsung dengan negara-negara bagian. NKRI sudah tak ada lagi, Republik proklamasi sudah hilang.
Ini menimbulkan pergolakan di daerah-daerah. Selain itu, Malang dan Sukabumi misalnya menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia. Aksi-aksi massa terjadi di Sumatra. Masyumi yang sejak awal menolak hasil KMB mengambil prakarsa.
M Natsir, yang menjadi ketua Fraksi Masyumi di parlemen, mengadakan serangkaian pertemuan. Ia berkeliling ke daerah dan berkomunikasi dengan partai-partai. Indonesia terbelah antara yang prounitaris dan yang profederalis. Tak hanya di lapangan politik tapi juga di lapangan militer.
Seperti dikatakan sejarawan Anhar Gonggong, pemberontakan di daerah dilatari masalah unitaris dan federalis. Ini terkait penempatan pasukan dan peratalan perang. Ada tarik menarik antara pusat dan daerah.
Natsir tak ingin terjebak pada unitaris dan federalis. Rakyat bergolak, parlemen mengeluarkan resolusi dan mosi, ujungnya pemerintah defensif. Natsir mengingatkan “Segera sesudah penyerahan kedulatan, di daerah timbul pergolakan.”
Ia mengingatkan “Kita masih berhadapan dengan struktur kolonial serta alat politik pengepungan yang diciptakan van Mook di daerah-daerah.” Hasil perjanjian Renville membuat wilayah Indonesia menyusut.
Van Mook, yang saat itu menjabat gubernur jenderal Hindia Belanda, membuat garis demarkasi, yang membatasi wilayah Republik Indonesia. Lalu ia membentuk negara-negara boneka yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).
Karena itu dalam KMB yang berunding adalah Indonesia, Belanda, dan BFO. Negara boneka itu yang disorot Natsir yang strukturnya langgeng setelah terbentuk RIS. Natsir mengatakan, “Struktur itu sebagai bekas alat lawan meruntuhkan perjuangan Republik Indonesia.”
Dengan latar itu, Natsir mengunci argumennya: “Bukan soal teori struktur negara unitarisme atau federalisme, tetapi soal menyelesaikan hasil dari perjuangan kita masa lampau yang tetap masih menjadi duri dalam daging.”
Natsir menghendaki penyelesaian menyeluruh dan tidak membiarkan rakyat mencari jalannya sendiri. Karena hal itu membahayakan eksistensi Indonesia. Tak salah jika Mosi Integral menjadi semacam proklamasi kedua. Tanpa setetes darah yang tumpah dan melanggar konstitusi, melalui mosi itu keutuhan Indonesia kembali.
Pemerintah segera melahirkan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan – bubarlah negara-negara federal itu. UUD RIS berubah menjadi UUDS. Indonesia kembali ke negara kesatuan. Masyumi juga memperjuangkan agar UUDS menganut sistem presidensiil. Namun PNI dan PSI menghendaki sistem parlementer. Masyumi kalah suara tetapi tak berhenti.
Mereka menyebut penuntasan perjuangan itu sebagai “Indonesia yang murni”, Indonesia yang sesuai dengan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan sesuai UUD 1945. Lahirnya Mosi Integral pada 3 April 1950 itu pada Senin, 3 April 2017, diperingati Fraksi PKS di DPR. Hidayat Nur Wahid, wakil ketua Majelis Syuro PKS, menyatakan, Mosi Integral bukti sejarah tak terbantahkan tentang cinta umat Islam terhadap NKRI.
Harus diakui, saat ini ada upaya sistematis meminggirkan dan menjauhkan politik Islam dari keindonesiaan. Inilah politik stigma, sebuah upaya politik yang jauh dari fakta. Namun politik adalah masalah narasi dan persepsi. Jika terus digelorakan bahwa politik Islam anti-NKRI, anti-Pancasila, dan antikebinekaan, narasi dan persepsi itu akan terbentuk dan tertanam kuat. Mosi Integral mementahkan semua tuduhan itu.
Saat ini yang paling berbahaya justru jika kita membiarkan korupsi dan kesenjangan ekonomi. Dua hal inilah yang bisa menimbulkan disintegrasi. Korupsi dan kesenjangan ekonomi lahir akibat rakus individual dan rakus korporasi/kapitalisme.
Kerakusan seperti itu ibarat manusia yang mengidap obesitas, nafsu makan tiada henti. Negara harus mengerem dan mengaturnya. Tanpa prakarsa negara maka eksistensi Indonesia berada dalam bahaya.
Negara kesatuan, negara Pancasila, dan negara yang bhineka merupakan keputusan final. Memang ada segelintir orang yang masih mencoba mengutak-atik soal itu tapi kekuatan mereka tak sebanding bahaya korupsi dan obesitas segelintir kaum kapitalis yang menguasai lebih dari separuh kekayaan Indonesia ini.
Justru negara harus waspada pada masalah korupsi dan kesenjangan ekonomi ini. Mari kita renungkan Pembukaan UUD 1945. Mari kita bandingkan dengan pembukaan UUD RIS. Pada konstitusi negara federasi ini hanya ada 85 kata.
Kata merdeka empat kali disebut, yakni dalam kalimat yang hambar dan mengambang: “memperjuangkan kemerdekaan”, “kami menyusun kemerdekaan kami”, “dan kemerdekaan dalam masyarakat”, dan “negara hukum Indonesia merdeka”.
Bandingkan dengan Pembukaan UUD 1945. Di konstitusi ini ada 180 kata. Adapun kata merdeka ada lima kali disebut: “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”, “perjuangan pergerakan kemerdekaan”, “pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia”, “yang merdeka”, dan “maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya”.
Kata merdeka dalam Pembukaan UUD 1945 dirangkai dalam kalimat bertenaga dan progresif. Apalagi ada kalimat tegas: “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Penjajahan itu masih mengancam. Seperti di masa lalu, ada duri dalam daging yang hanya peduli pada kerakusan dirinya. Rakus harta dan rakus kuasa.
********
Republika.co.id