Monyet

Monyet

2309
0
SHARE

Putu Setia

Garut News, ( Ahad, 03/11 ).

Ilustrasi. (Ist).
Ilustrasi. (Ist).

Mari kita membicarakan monyet.

Kalaupun salah menulis, tak akan membuat orang marah dan tak dituduh mengobok-obok partai.

Siapa tahu isu soal monyet bisa membesar lalu mengalihkan isu Bunda Putri atau isu Perpu Mahkamah Konstitusi yang bakal tak mulus itu.

Topeng monyet sedang di-sweeping di Jakarta, itu pangkal kasus.

Gubernur Jakarta Joko Widodo sangat serius memikirkan monyet, lebih dari memikirkan para buruh (ini menurut tuduhan buruh).

Calon presiden berstatus “wacana” ini melarang topeng monyet, kesenian tradisional yang juga bisa ditemukan di India, Pakistan, Vietnam, Cina, Jepang, dan Korea. (Ini menurut Wikipedia, tak semua negara itu pernah saya kunjungi).

Rupanya, topeng monyet di Jakarta tak punya tempat pentas.

Jalanan dijadikan panggung.

Tentu menghina orang Jakarta, wong mal berdiri di mana-mana dan sebentar lagi ada kereta api bawah tanah, eh, ada topeng monyet ndeso di jalanan.

Jokowi banyak didukung. (Berani mengkritik Jokowi saat ini, siap-siap tidak populer).

Para penyayang binatang (belum disurvei apa mereka juga penyayang anak jalanan) kontan setuju.

Alasannya, ada penyiksaan terhadap monyet selama latihan.

Konon, latihan itu begitu kejam, banyak monyet yang sampai meninggal dunia (untuk monyet, baiknya ditulis: mampus).

Hanya monyet hebat yang lolos jadi topeng monyet.

Beda dengan manusia bertopeng yang pengecut.

Apakah latihan bertinju, bagi manusia, tidak keras?

Kenapa tidak dilarang?

Ah, ini bukan hewan, fokus tulisan melenceng.

Apakah sapi atau banteng (yang moncongnya tidak putih) tidak dilatih keras di Bali sebelum dipakai membajak sawah?

Sapi-sapi remaja itu bisa dipukuli berkali-kali kalau salah menerima perintah.

Pada karapan sapi di Madura dan adu kerbau di Negara (Bali Barat), sang sais memakai cambuk yang diisi paku, dan itu dipukulkan ke badan hewan agar lari lebih kencang. Ini penyiksaan.

Kok boleh?

Jika topeng monyet dituduh mengkomersialkan hewan, bagaimana dengan pertunjukan “aneka satwa” di taman-taman safari?

Bagaimana dengan sirkus?

Lalu, apakah kebun binatang akan digratiskan bagi pengunjung?

Bagaimana dengan dokar di Bali dan cidomo di Lombok, apakah tak mengkomersialkan kuda?

Kadang kuda itu seharian berjemur dengan terus berdiri kalau tak ada penumpang, sementara saisnya enak saja tidur. (Saya ingin mewawancarai kuda itu apakah mereka merasa disiksa, sayang bahasa saya tak dipelajari oleh kuda).

Isu topeng monyet melebar ke kopi luak.

Kopi luak dianggap produk yang “menyesatkan” karena mempekerjakan luak bak romusha (pekerja paksa yang diperas majikan).

Betul, luak itu dikerangkeng, lalu dihidangkan kopi yang “terpaksa” harus ia makan.

Saya paham soal dunia luak, rumah saya di area kebun kopi dan produksi kopi luak ada di depan rumah.

Saya ikut kasihan melihat para luak di dalam sel, tapi kok lebih segar daripada luak liar di kebun.

Saya pikir, luak liar kesulitan cari makan di luar musim kopi (Mei sampai Agustus).

Andaikan luak bisa bicara….

Kembali ke monyet.

Saya setuju empat ribu persen (ulangi: 4.000 persen) topeng monyet diberangus dari Jakarta.

Tapi, apakah harus sampai ke pelosok desa?

Di Srono, Banyuwangi, ada pentas rutin ledhek munyuk (nama asli topeng monyet) dan jadi tontonan menarik anak-anak desa.

Kalau saya ke Pura Blambangan, cucu-cucu saya minta ikut, bukan bersembahyang tapi menonton ledhek munyuk itu.

Indonesia luas, janganlah kebijakan pusat harus diikuti daerah.

Jakarta daerah khusus.

Jokowi patut diacungi jempol, di saat orang serius memikirkan bagaimana menjadi capres, ia justru memikirkan monyet.

***** Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY