Garut News ( Rabu, 23/04 – 2014 ).
Pelaksanaan ujian nasional tampaknya tak pernah sepi dari masalah.
Tahun ini, muncul banyak keluhan peserta ujian nasional, sebagian terbaca di media sosial.
Keluhan siswa sekolah menengah atas itu, menyasar banyak hal mendasar pada pendidikan nasional, belum tuntas dibenahi.
Para siswa ini, umumnya mengeluhkan ujian bahasa Inggris dan matematika.
Mereka kesulitan memahami soal cerita pada ujian bahasa Inggris lantaran selama ini lebih banyak belajar kosakata dan tata bahasa.
Tingkat kesulitan matematika pun jauh dari bayangan mereka.
Keluhan cukup merata, termasuk dari para siswa merasa belajar serius, misalnya dengan ikut bimbingan belajar, les tambahan, atawa simulasi (try out) ujian.
Bukan tak mungkin, diajarkan di sekolah selama ini memang jauh di bawah materi diujikan.
Penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh mengindikasikan hal itu.
Ketika mengunjungi satu sekolah di Jakarta pada hari pertama ujian nasional, Nuh mengatakan tahun ini ujian nasional memasukkan soal bertaraf dunia, dengan standar Programme for International Student Assessments dan Trends in International Mathematics and Science Study.
Kementerian Pendidikan sah-sah saja jika ingin membandingkan kemampuan siswa Indonesia dengan siswa negara lain.
Klaim sukses pendidikan di satu negara memang perlu dibandingkan dengan standar dunia.
Tetapi hal itu terasa seperti hendak gagah-gagahan belaka.
Kementerian Pendidikan tak boleh lupa, ujian nasional tak semata-mata mengukur dan memetakan kompetensi siswa.
Kementerian telanjur menjadikan ujian nasional penentu kelulusan sekolah dan, belakangan, juga menjadi salah satu pertimbangan kelulusan seleksi masuk perguruan tinggi.
Sungguh tak bijak memberikan soal ujian berlevel internasional bagi murid, sistem belajarnya belum terstandardisasi.
Juga masih ada kesenjangan pada fasilitas belajar, kemampuan guru, dan murid. Sekolah mampu mengadopsi soal internasional itu bisa dihitung jari.
Apalah artinya jika niat mulia Kementerian Pendidikan itu justru bisa berdampak buruk bagi kelangsungan pendidikan mereka.
Mereka bukan hanya bisa gagal lulus, melainkan juga tak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pilihan.
Pemerintah seharusnya juga tak menganggap sepi putusan kasasi Mahkamah Agung pada 2009 atas gugatan Tim Advokasi Korban Ujian Nasional.
Mahkamah melarang pelaksanaan ujian nasional sebelum pemerintah berhasil meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi lengkap dan merata di semua daerah.
Agar tak dianggap mengabaikan putusan pengadilan, pemerintah bisa saja menggelar “ujian akhir” dengan target dimodifikasi.
Seperti dipraktekkan di banyak negara, sasaran ujian akhir itu hanya mengukur kompetensi siswa setelah menempuh jenjang pendidikan tertentu.
Hasilnya pun tak perlu dikaitkan dengan kelulusan.
Cukup sebagai bahan mengevaluasi kebijakan nasional di sektor pendidikan.
Pada saat sama, pemerintah bergegas memerbaiki mutu pendidikan di seluruh Indonesia.
***
Opini/ Tempo.co