– Flo. K. Sapto W., praktisi pemasaran
Jakarta, Garut News ( Rabu, 19/03 – 2014 ).
Jika sempat mengamati mobil dan pengemudi yang digunakan tim sukses atau kandidat dalam berkampanye, terutama di daerah, akan ada beberapa hal menarik.
Jika ditelisik lebih jauh, akan cukup mudah mengenali kepemilikan mobil-mobil itu.
Dalam soal mobil rental, tidak banyak yang bisa diulas selain bahwa itu adalah murni bisnis.
Sedangkan ihwal kepemilikan mobil pengusaha, kiranya bisa ada beberapa penafsiran.
Tentu kedekatan pengusaha dengan politikus sudah menjadi semacam simbiosis mutualisme.
Meski demikian, hubungan semacam ini pun bagi pengusaha merupakan sebuah strategi survival.
Jika hanya mendukung salah satu tim sukses dan kandidat, akan ada semacam “dosa masa lalu” seandainya yang menang adalah kandidat lain.
Dengan demikian, sangat masuk akal jika fasilitas mobil dan pengemudi yang dimiliki diberikan kepada semua tim sukses dan kandidat.
Tidak jarang bahkan fasilitas itu termasuk akomodasi.
Akibatnya, sering kali rombongan tim sukses kandidat tertentu bertemu dengan tim sukses dari kandidat lain di hotel atau restoran yang sama.
Sebuah kedewasaan berdemokrasi jika masing-masing dari mereka kemudian saling sapa dan berjabat tangan.
Namun, di balik itu, keberadaan mereka di hotel dan restoran tertentu tersebut bisa ditarik benang merahnya.
Fasilitas akomodasi itu tak lain merupakan bagian dari servis dari pengusaha.
Bagaimana sebaiknya relasi bisnis-politik ini dimaknai?
Bagi pengusaha, hal ini bisa diartikan sebagai bagian dari investasi.
Kelak, siapa pun pemenangnya, imbal jasa atas segala servis selama kampanye akan menjadi modal bagi sejumlah kemudahan operasi bisnisnya.
Minimal pengusaha itu tidak akan ditempatkan dalam posisi yang berseberangan.
Sedangkan bagi politikus, hal ini semestinya menjadi sebuah kehati-hatian tersendiri.
Ihwal pengusaha yang memberikan dukungan hanya kepada salah satu tim sukses atau kandidat, mereka akan bisa dihargai sebagai bagian dari simpati atau kesesuaian ideologi perjuangan.
Tapi pengusaha yang memberikan dukungan kepada hampir semua tim sukses dan kandidat justru bisa berpotensi memainkan kartu truf.
Speechless, sebuah film komedi romantik yang ditulis oleh Robert King dan dirilis pada akhir 1994, bisa dijadikan ilustrasi.
Bintang dalam film ini, yaitu Michael Keaton (Kevin Vallick) dan Geena Davis (Julia Mann), adalah penulis naskah pidato kampanye bagi kandidat dari Partai Demokrat dan Republik.
Setting-nya adalah pemilu di New Mexico.
Pengusaha yang tidak suka kepada salah satu kandidat bisa merekayasa sebuah pembocoran rahasia suap.
Sebagai akibatnya, kandidat yang terkena isu suap itu kemudian terpaksa menerima kekalahan tidak terhormat.
Pihak pemberi donasi bahkan bisa juga memperkarakan hal ini kelak ketika kandidat sudah menjabat.
Padahal belakangan diketahui bahwa pengusaha terkait sebetulnya menyuap beberapa kandidat sekaligus.
Sangat dimungkinkan, ketidaksukaan pengusaha ini terkait dengan negosiasi pengembalian jasa dan pelayanan yang telah diberikan selama berkampanye.
Pada akhirnya, pengusaha yang tricky akan lebih mendukung kandidat yang memberi peluang pengembalian (return of investment) paling menguntungkan.
Jika demikian halnya, siapa sebetulnya yang sedang berpolitik? *
*****
Kolom/Artikel Tempo.co