Mitos Pertanian Organik

Mitos Pertanian Organik

872
0
SHARE

Henry I. Miller, Ahli filsafat sains

Jakarta, Garut News ( Senin, 25/11 ).

Ilustrasi. (Foto : John).
Ilustrasi. (Foto : John).

Produk-produk organik-dari makanan, kosmetik, sampai rokok-sangat ramai diperdagangkan.

Pasar global makanan organik saja sekarang setiap tahun mencapai nilai lebih dari US$ 60 miliar.

Pandangan konsumen mengenai produk organik ini tampaknya didukung oleh Komisi Eropa, bahwa pertanian dan makanan organik itu “Baik untuk lingkungan, baik untuk Anda.”

Tapi tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai kedua kebaikan ini.

Suatu meta-analisis data yang dilakukan pada 2012 atas 240 studi menyimpulkan bahwa buah-buahan dan sayur-mayur organik rata-rata tidak lebih bergizi daripada buah-buahan dan sayur-mayur biasa yang lebih murah; dan tidak juga produk organik itu bebas dari bakteri patogenik seperti E. coli atau salmonella-penemuan yang mengagetkan para peneliti.

Banyak orang membeli makanan organik untuk menghindarkan diri terkena efek pestisida yang berbahaya itu.

Tapi itu alasan yang lemah.

Walaupun buah-buahan dan sayur-mayur non-organik mengandung residu pestisida yang lebih tinggi, tingkatan residu dalam lebih dari 99 persen kasus tidak melewati ambang batas keamanan yang ditetapkan badan regulator.

Lagi pula, sebagian besar dari zat anti-hama yang ditemukan dalam produk pertanian itu terjadi secara “alamiah” dalam diet seseorang, baik melalui makanan organik maupun makanan konvensional.

Pakar biokimia Bruce Ames dan kolega-koleganya telah menemukan bahwa 99 persen (menurut bobot) pestisida yang terdapat dalam diet orang-orang Amerika merupakan zat kimia yang dihasilkan tumbuh-tumbuhan untuk mempertahankan diri.

Cuma 52 pestisida alami telah diuji dalam tes kanker hewan dosis tinggi dan kira-kira separuh (27) merupakan karsinogen hewan perengat.

Ke-27 karsinogen ini terbukti terdapat dalam banyak makanan umumnya.

Kesimpulannya bahwa kimia alami sama seperti kimia sintetis terbukti positif dalam studi kanker hewan, dan “pada dosis rendah bahaya residu pestisida sintetis terhadap manusia itu tidak signifikan.”

Dengan kata lain, konsumen yang membeli makanan organik yang mahal untuk menghindari pestisida, sebenarnya terpusat perhatiannya hanya pada 0,01 persen dari pestisida yang mereka konsumsi.

Ironisnya, baik di Eropa maupun di Amerika Utara, sebutan “organik” itu sendiri merupakan bangunan birokratis sistematis-dan ia tidak punya arti apa-apa.

Ia melarang digunakannya pestisida kimia sintetis dengan beberapa perkecualian yang pragmatis.

Misalnya, kebijakan Uni Eropa menegaskan bahwa “fleksibilitas peraturan” bisa mengkompensasi “perbedaan iklim, budaya, atau struktur setempat.”

Ketika tidak terdapat alternatif yang sesuai, beberapa kimia (tertentu) diperbolehkan.

Begitu juga di AS, ada daftar panjang kekecualian larangan-larangan tertentu.

Tapi sebagian besar pestisida “alami”-serta kotoran hewan yang sarat patogen-yang digunakan sebagai pupuk, diperbolehkan.

Alasan lain membeli produk organik adalah ia katanya baik untuk lingkungan.

Tapi hasil yang rendah dari pertanian organik dalam setting dunia riil-biasanya 20-50 persen di bawah hasil dari pertanian konvensional-membawa berbagai beban pada lahan pertanian dan meningkatkan konsumsi air.

Menurut suatu meta-analisis yang dilakukan baru-baru ini di Inggris, emisi ammonia, terlepasnya nitrogen dari tanah, dan emisi nitrit-oksida per unit output lebih tinggi dalam pertanian organik daripada dalam pertanian konvensional, seperti juga halnya dengan pemanfaatan lahan dan potensi terjadinya eutrofikasi-respons ekosistem terhadap penambahan pupuk dan limbah-serta pengasaman.

Anomali definisi “organik” ini adalah bahwa sebutan itu sebenarnya tidak menyangkut mutu, komposisi, atau keamanan makanan.

Ia hanya berupa praktek dan prosedur yang bisa digunakan para petani.

Misalnya, pestisida kimiawi atau serbuk sari tanaman rekayasa genetika yang mengembus dari ladang sebelah ke tanaman organik tidak mempengaruhi status panen.

Peraturan yang diberlakukan Uni Eropa jelas bahwa makanan boleh diberi label sebagai makanan organik selama “bahan yang mengandung organisme modifikasi genetika itu masuk ke dalam produk dengan tidak sengaja” dan dalam jumlah kurang dari 0,9 persen kandungan produk itu.

Akhirnya, banyak orang yang tergoda oleh daya tarik pertanian organik mengabaikan akibatnya pada manusia.

Petani Amerika, Blake Hurst, memberikan peringatan ini, “Rumput liar terus tumbuh, bahkan dalam aneka budi daya yang menggunakan metode pertanian holistik dan, tanpa pestisida, membersihkan rumput liar itu merupakan satu-satunya cara melindungi tanaman.”

Kerja membersihkan rumput liar ini sering dibebankan kepada wanita dan anak-anak.

Sudah tentu produk organik harus tersedia untuk orang-orang yang merasa memerlukan dan mampu membelinya.

Tapi sebenarnya membeli produk non-organik lebih efektif dari segi biaya, lebih manusiawi, dan lebih bertanggung jawab

**** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY