Minimarket Reform, Mulutmu Harimaumu: Dusta Memang tak Permanen!

Minimarket Reform, Mulutmu Harimaumu: Dusta Memang tak Permanen!

749
0
SHARE
Belanja di warung kelontong. ( Republika/Wihdan Hidayat).

Red: Muhammad Subarkah

Minimarket Reform, Mulutmu Harimaumu: Dusta Memang tak Permanen!
Oleh: Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa

====================

Belanja di warung kelontong. ( Republika/Wihdan Hidayat).
Belanja di warung kelontong. (Republika/Wihdan Hidayat).

Republika.co.id/Garut News ( Senin, 26/12 – 2016 ), Saya amati, imbas salah tangani “mulutmu harimaumu” bak bola salju. Minimarket pun mulai ketar ketir. Sebelum ini minimarket cuma siasahi aturan. Kini musti hadapi reaksi masyarakat. Ganti nama, aturan ditekuk. Hadapi masyarakat? Justru “beda nama satu manajemen” itu laporan masyarakat. Tak percaya? Dusta memang tak permanen.

Reaksi 212 tak bisa dicegah. Aroma syahid sudah terasa. Getar takbir tertabuh, itu yang di 1945 gelorakan rakyat yakini “Merdeka atoe Mati”. Hati-hatinya andai tertunggangi, alih-alih positif malah anarkis. Di luar Allah SWT, siapa bisa jamin.

Sebagai pemantik, reaksi perlu. Usai reaksi butuh rencana. Amati apa isi minimarket? Semua produk turunan Unilever, Danone, Nestle, Wings dan Indo-Salim. Itu contoh produk. Nah sekadar ganti minimarket, cuma geser nama dan pemilik. Esensinya pasokan minimarket tetap saja. Apalagi pemain minimarket kini jadi produsen. Kartel?

Wuuuh… Saya ingin cermati dua hal. Ke-1 simak supply chain & logistics. Hal produksi tampak mudah. Begitu skala industri, bahan baku jadi soal menakutkan. Kualitas, kuantitas, dan kontinuitas masalah lain. Agar logistik aman, distribusi musti gandeng “keamanan hulu hilir”.

Sejumlah aturan membentang. Jadi ingat shohib di tambang. Pada majikan dia lapor: “Boss, ada aturan baru nih”. “Saya tahu Indonesia banyak aturan. Tapi bisa diatur, kan!” Jawab majikan sambil menepuk-nepuknya. Jleeeb… merahlah wajahnya.

Aturan memang dibuat. Tapi koq tak risih masuk laci. Soal ritel modern sudah ada aturannya. SPBU pun begitu. Penggundulan hutan ala HPH jadi warisan problem akut. Sebagian kita pun beli rumah di atas lahan sawah. Weleeeh… pening!

Kedua,soal minimarket sesungguhnya menguak visi. Tanpa visi, negara hendak dibawa kemana. Tak adil jadi pemandangan merata. Dimanapun & kapanpun. Yang jadi korban, siapa lagi jika bukan rakyat. Esensinya ini bicara hajat orang banyak. Hak untuk hidup di negeri yang sama.

Ini kesadaran. Sadar itu aksi bukan reaksi. Sebagai aksi, tentu lebih cari solusi. jadi ingat Tip Top. Niat Tip Top ingin sediakan produk yang halal dan thayib. Pemasok penuhi, klop. Tip Top bisa jadi satu jembatan agar terjadi redistribusi asset tanpa timbulkan goncangan.

Di Kuningan juga berdiri Fajar Market, dimotori Yogi Tiandaru. Dengan hampir 30 cabang, ini juga alternatif. Agar terjadi proses keadilan distribusi. Darinya kabar hegemoni bukan isapan jempol.

Suatu saat pelanggan protes. Sudah sekian hari cari kopi itu tak ada. Yogi paham. Segera dia ke distributor. Satpam yang berjaga terpaksa bukakan pagar. Bawa Rp 500 juta, Yogi cuma dijatahi Rp 300 juta.

Solusi lain, pemerintah musti tegas tegakkan aturan. Tantangannya bagai menggantang asap. Sebab gimana taklukan hasrat “pengusaha yang jadi pejabat”. Di antara pewaralaba minimarket, beberapa ternyata kepala daerah.

“Pak Erie, apa strategi belanja ke Warung Tetangga?” Tanya Supardi Lee. Pikir-pikir untuk tetangga tak usah pakai strategi lah. Utamakan saja beli di situ. Kualitas lebih buruk dan harga lebih mahal, ya tak apa. Sedekah untuk tambahi nafkah. Ketika kita wafat saat beli begitu, semoga itu juga syahid.

Jika yang dibutuhkan tak ada, selagi bisa tahan, ya tak usah beli. Tak tahan, beli sekadarnya di minimarket. Jangan terlalu konsumtif.

Kita juga bisa minta minimarket, Tip Top, atau Fajar Market, untuk “beyond CSR”. Maksudnya? Ajari bagaimana warung tetangga bisa jualan lebih baik. Konsep “Bapak Asuh” yang kemarin gagal karena masih “kebutuhan Bapak” musti diubah. Saatnya sungguh-sungguh fokus warung tetangga.

Akhirnya ada solusi jitu tapi amat berat. Angkat derajat minimarket jadi social enterprise. Karena sudah tahu minimarket bergerak di social business, insya Allah masyarakat belanja dalam konteks “bangun bangsa”. Bukan lagi penuhi kocek segelintir orang.

Laba minimarket dimaslahatkan. Skill up pendidikan pemuda di antaranya. Minimarket bisa jadi tempat magang. Lantas tiap minimarket bisa tanggung kebutuhan bulanan beberapa keluarga miskin di situ. Bukankah ini berkah yang maslahatnya meruah-ruah?

Inilah “minimarket reform”. Indonesia bisa jadi rujukan redistribusi asset. Semoga!

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY