Ahmad Sahidah, Dosen Universitas Utara Malaysia
Garut News ( Ahad, 08/12 ).
Ketika bulan purnama hadir, dulu warga kampung saya tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Mereka menyambut sinar terang dengan bercengkerama di halaman rumah tanpa pagar.
Sementara itu, anak-anak memanjakan diri dengan aneka permainan, dari hanya berlarian, petak umpet, hingga gobak sodor.
Yang menarik, jika bulan gerhana, mereka membangunkan pohon agar tak tertidur dan mengusir sang raksasa agar memuntahkan bulan.
Namun pemandangan seperti ini hadir ketika kampung belum dialiri listrik dan disihir televisi.
Sekarang kebiasaan yang dimaksud musnah.
Orang tua lebih khusyuk di depan televisi.
Anak-anak juga membetot acara sinetron yang tak cocok untuk usia mereka.
Malangnya, tradisi kesenian lokal turut tergerus oleh hiburan dari televisi.
Dulu, saya masih sempat menikmati sosio-drama lokal Albadar Mahajaya, di mana orang-orang kampung berjumpa di pasar tempat pergelaran dilangsungkan.
Dengan mengangkat cerita para nabi atau kerajaan zaman dulu, drama ini mendekatkan orang ramai satu sama lain secara langsung.
Betapa rumah telah menjadi penjara, bukan?
Tak hanya kesenian yang bersifat hiburan, malah yang bersifat religius pun turut hilang.
Misalnya, saman tak lagi dirayakan di kampung.
Tarian yang diikuti pujian kepada Tuhan ini merupakan laku yang dijalani untuk mendekatkan penampil dengan kekuasaan ilahi.
Diiringi dengan zikir, mereka bergerak turun-naik dengan saling menggenggam tangan.
Malah, samrah atau kasidahan, yang dulu pernah ditekuni ibu saya, sekarang tak lagi terdengar didendangkan.
Remaja perempuan lebih menyukai lagu pop dibanding merawat tradisi seraya bernyanyi dan memainkan alat musik sendiri, betapa pun sederhananya.
Di tengah deru kebudayaan yang tak melibatkan masyarakat, kita pun mesti memikirkan kembali bagaimana tradisi dan permainan tradisional itu tak pupus ditelan serbuan hiburan dari media dan barang pabrikan.
Anak-anak bergegas ke toko penyewaan PlayStation untuk memuaskan hasrat bermain, bukan jenis permainan yang memupuk kebersamaan dan memancing imajinasi, seperti sepak bola dan perang-perangan.
Jika dulu saya dan kawan-kawan hanya bermodalkan bola plastik dan lapangan voli, sekarang anak-anak itu berkutat di lantai, menggerakkan tangan untuk bermain bola tanpa harus berkeringat.
Malangnya, mereka mesti merogoh kocek untuk memuaskan keinginan itu.
Tak hanya itu, kreativitas anak dan remaja sekarang makin tergerus karena mereka tak lagi membuat mainannya sendiri, berbeda dengan dulu, ketika anak-anak sebayanya menjadikan kotak rokok sebagai mobil-mobilan dan menjadikan sandal bekas yang telah dipotong bundar untuk rodanya.
Tak hanya itu, kami memanfaatkan kali kecil untuk arena bermain adu “karapan sapi”, yang sekarang sama sekali tak berbekas.
Celakanya lagi, anak-anak telah dicekoki makanan kecil yang berbungkus plastik dan tidak sehat karena kadar garamnya tinggi.
Kami dulu menikmati makanan kecil dari pohon yang banyak tumbuh di sawah atau dekat sungai.
Tak jarang dengan uang saku yang tak banyak, kami membeli makanan tradisional, seperti klepon dan gulali, di mana sang penjual memakai daun pisang, bukan plastik.
Tetapi, apakah kita harus kembali ke masa lalu agar anak-anak itu kembali kreatif dan haus uang untuk memenuhi kebutuhannya?
Tentu, tidak.
Kreativitas itu adalah daya anak untuk menghasilkan barang atau sesuatu yang membuat mereka tidak pasif dan manja.
Karena itu, semua pihak senantiasa mendorong anak-anak itu untuk menghargai lingkungan dengan tidak membuang begitu saja bungkus plastik dari kudapan yang dibeli di toko.
Penanaman kesadaran ini tentu akan berbuah kebiasaan.
Dan kelak kita tidak akan menghasilkan generasi yang suka berbelanja dan membuang sampah sembarangan.
Agar bulan itu kembali terang, kita tidak berarti harus mengganti lampu neon dengan petromaks, tapi membuka kembali silaturahmi antartetangga.
Agar bulan itu kembali hadir, permainan tradisional harus dihidupkan kembali supaya anak-anak itu tak selalu membeli sesuatu untuk mendapatkan keriangan.
Ketika iklan begitu mempengaruhi orang ramai, sinyalemen Neil Postman, pedagog, dalam Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-nilai Sekolah (2003), bahwa tuhan konsumerisme telah membetot perhatian khalayak luas, terbukti.
Jika digeser pada kredo agama, sejatinya banyak orang yang yang masih belum menegaskan Allah sebagai tuhan.
Bukankah ini merupakan bentuk kemusyrikan?
Tak ayal, ketika kita berharap pada sekolah untuk menanamkan nilai-nilai kritisisme terhadap diri dan lingkungannya, teknologi telah menggantikannya.
Malangnya, banyak sekolah di sini minim fasilitas olahraga sebagai tempat anak-anak bermain.
Gajet telah menyeret pemelajar ke dunia maya.
Dunia sosial mereka dilipat ke dalam perhubungan yang tak nyata dan relasi yang menyuburkan konsumerisme.
Bayangkan, sebuah keluarga dalam ruang tunggu sama-sama berdiam diri karena masing-masing mengasyiki media sosial, tetapi pada waktu yang sama mengabaikan kebersamaan.
Yang dekat menjauh dan yang jauh mendekat.
Selagi ruang publik kita terbatas dan anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan permainan yang terbatas, tertutup dan berbayar, mereka akan menjadi anak-anak yang melek teknologi, tapi hanya sebagai pengguna.
Ketertutupan permainan sepak bola dalam Play Station, misalnya, pada hakikatnya makin mengasingkan anak-anak dari realitas sosial mereka.
Alih-alih mengajarkan kerja sama, mereka belajar membesarkan egoisme mereka sendiri karena kendali permainan sepenuhnya pada kemampuan dirinya sendiri, kecerdasan kinestetik.
Karena itu, semua pihak harus memastikan bahwa ruang publik, seperti taman, fasilitas olahraga, dan ruang pertemuan bersama, harus diwujudkan.
Pada waktu yang sama, fasilitas umum yang telah ada harus dimanfaatkan untuk menarik anak-anak bermain di dalamnya.
Bagaimanapun, orang tua bertanggung jawab untuk memberikan contoh dengan turut memajukan intensitas hubungan warga dalam komunitas.
Bayangkan!
Tak hanya di kota, sekarang orang kampung juga telah membuat rumah besar berpagar yang di dalamnya dilengkapi alat-alat teknologi.
Kalau tidak diretas dengan kegiatan bersama, teknologi itu tidak akan menjadi berkah, tapi mengundang kutukan. *
***** Kolom/artikel Tempo.co