News Megapolitan
MUHAMMAD SUFYAN
Kompas.com – 10/05/2017, 07:05 WIB/Garut News ( Jum’at, 12/05 – 2017 ).
Mengapa dalam banyak budaya, hikmah kebijaksanaan kerap ditamsilkan sungai? Sebab, antara lain, arusnya akan terus mengalir sepanjang waktu dengan sisi permukaan bening yang bisa dijadikan cermin.
Maka, berkacalah (baca: intropeksi diri) tiada lekang dengan terus mereguk sarinya guna menjadi pribadi yang baik dari waktu ke waktu.
Dan, setelah ketok palu sudah ditetapkan dalam koridor hukum yang tak semua kita menguasainya, apakah kita menjadi yang pertama mereguk sungai kebijaksanaan tersebut?
Ataukah, seperti kebanyakan yang sudah-sudah, hanya masuk dalam arus perdebatan tanpa ujung –seraya tiada perubahan karakter kita secara signifikan?
Dalam hemat penulis, dari perspektif ilmu public relations dan komunikasi massa, sedikitnya ada lima poin yang bisa dijadikan sungai hikmah kebijaksanaan tersebut. Tentu dengan target adalah adanya perubahan signifikan bagi semua elemen bangsa, terutama saat berkomunikasi publik.
Pertama, konten komunikasi publik itu tak boleh serampangan. Setiap kata tercurah, pada semua facial expression, bahkan intermezzo/ice breaker yang dimunculkan, adalah hasil desain matang. Terlebih jika kita tahu bahwa ada media massa dan atau medium komunikasi massa yang ikut mereportase dan atau merekam kejadian tersebut.
Konten komunikasi publik harus benar terencana, wajib utuh diskenariokan, sehingga jikalau ada improvisasi, masih tetap dalam koridor. Bukan improvisasi tak perlu, yang akhirnya malah bisa menjerumuskan semua pihak, terutama sang komunikatornya.
Apakah ini berlebihan? Kita semua menjadi saksi bersama ketok palu dua tahun Pak Ahok yang berbicara konten komunikasi publik yang irelevan dan kurang cermat.
Ini pula sebabnya, dalam pendekatan komunikasi Islami, hadis sahih menyebutkan bahwa, “Sungguh dalam perkataan/pidato yang baik terdapat sihir (HR Bukhari)”
Sevital itulah konten dalam komunikasi massa, sehingga Rasul SAW sudah ingatkan berabad lama sebelumnya agar kita benar mendesain komunikasi sedari awal.
Ini secara paralel dinyatakan dalam hadis valid lain sebagai ungkapan penegasan, “Falyakul khairon aw lii yasmut/berkata baik atau diam.”
Alert pola komunikasi ini sudah berabad lamanya dianjurkan atau dititahkan karena Rasul SAW sangat mengetahui, bahwa sangat mudah manusia terpeleset saat berkomunikasi.
Terlebih di ruang publik, dalam euforia panggung serta mikrofon yang kerap membuat seseorang “lupa daratan.”
Kedua, bagi banyak pejabat publik, membaca naskah yang sudah disiapkan di semua kegiatan apa pun yang dihadirinya, ada perasaan membosankan dan atau tidak menarik –dalam beberapa hal itu benar.
Akan tetapi, konseptor (penulis) pidato sesungguhnya sudah banyak memperhitungkan banyak hal saat menulis.
Sepengalaman saya, mereka menghimpun data demikian banyak baik dari dinas maupun dari kebiasaan konten dari pimpinan. Dengan kata lain, risiko krisis komunikasi sudah direduksi pada level terendah.
Faktanya, sangat banyak improvisasi tidak perlu bahkan malah tidak dibaca sama sekali. Kemudian kerap terjadi, terutama karena euforia mikrofon dan panggung tadi, konten sudah melebar ke mana-mana hingga keluar jauh dari tema acara.
Padahal, ini era camera branding, manakala audiens tak bisa kita larang merekam video dan atau mengambil foto dari pidato kita. Lalu, diunggah ke media sosial dengan segala intensi dan motivasinya yang tak bisa kita kontrol. Boom!
Ketiga, ketika new media kian tumbuh eksponensial bergerak melampaui utilitas dan posisi media konvensional, maka dibutuhkan kompetensi unik, spesifik, dan menarik yang harus dikantongi mereka yang berkomunikasi publik.
Kompetensi tersebut, selain merujuk pada keahlian dasar ilmu komunikasi (penulis menyebutnya kemampuan menulis, public speaking, multimedia, dan event management), juga harus sejalan dengan kebutuhan dari new media.
Atau dalam istilah lain yang dipopulerkan Indra Utoyo dalam buku Silicon Valley Mindset (Gramedia Pustaka Utama, 2016), haruslah beriringan dengan peradaban ekonomi konseptual yang menekankan high think, high tech, namun high touch.
Keempat, komunikasi tempramental dan ugal-ugalan sudah jelas lebih banyak mencuatkan mudarat dibandingkan maslahat. Sebagian menyebut sebagai bentuk terus terang, namun faktanya lebih banyak yang tersakiti, bahkan menularkan sisi kelamnya.
Kompas edisi awal Februari lalu menyebutkan, ketidaktertiban komunikasi publik bahkan menular destruktif seperti terjadi dalam serangan ke masjid Pusat Kebudayaan Islam di Quebec, Kanada, Minggu (29/12017), yang menewaskan enam orang, delapan luka-luka, dan lima kritis.
Saat ditangkap, sang pelaku Alexandre Bissonete (27 tahun) yang pendiam mengaku sebagai pendukung Presiden Donald Trump dan politikus sayap kanan Prancis, Marine Le Pen –dua figur yang dikenal kerap berkomunikasi emosional dan tempramental.
Makin sahih-lah teori tahun 1950-an dari Wilbur Schram bahwa pesan (Donald Trump) yang tersampaikan melalui media massa sekalipun satu arah, namun berdampak kuat karena jelas berhasil mengubah pria pendiam menjadi pembunuh berdarah dingin.
Kelima, ruang publik komunikasi sudah tak bisa hanya dibuka pada mereka yang satu pemikiran apalagi pendukung kita.
Jangan sampai terjadi lagi kita kehilangan sosok komunikator publik pemerintahan yang berusaha merajut simpul perbedaan ekstrim yang nyata muncul sekarang ini.
Tiada ayah, bapak bijaksana bagi warga sebagai anaknya, yang berusaha mempertemukan dulu semua dengan niat dan itikad non-partisan.
Jangan lagi komunikasi massa terus ditempatkan sebagai transaksi dagang; Ada ganjaran, ada biaya, ada hasil atau laba, serta tingkat perbandingan karena orang berkomunikasi hanya berharap sesuatu yang memenuhi kebutuhannya.
Jika biaya (nilai negatif dari komunikasi sosial) dinilai lebih besar dari ganjaran (nilai positif dari hubungan sosial), sekalipun penilaian subyektif, maka tak perlu membuka ruang sekalipun posisinya sebagai ayah sebuah bangsa.
Apabila tingkat perbandingan yang lama cenderung positif penuh puja-puji dan atau datar, maka cenderung akan hindari sebuah komunikasi sosial yang sangat kontra bahkan dibumbui agitasi.
Ini menjadi tidak ideal, sekali lagi, bagi seorang pemimpin alias pengayom masyarakat. Sebab, sejatinya mereka harus menerapkan premis model peranan.
Dalam model peranan, setiap orang harus memainkan peran sesuai dengan “naskahnya”, sehingga komunikasi interpersonal berkembang baik hanya jika individu bertindak sesuai role expectation, role demands, role skills, dan terhindar dari kerancuan peran.
Dan, kita ketahui sekaligus sepakati bersama, seorang ayah tentu harus berperan merangkul semua “anaknya” yang sedang bertikai dan jangan malah melakukan kerancuan peran dengan menunjukkan keberpihakan.
Pejabat publik umumnya adalah hasil kontestasi yang tak semua mendukungnya. Maka, kewajibannya untuk bisa merangkul semua elemen, sehingga kesenjangan informasi bisa terus terkikis dan berubah dari apriori menjadi dukungan.
Semoga sungai hikmah kebijaksaan ini yang kita pilih sekaligus reguk nikmatnya. Bukan terus berkubang dalam polarisasi cinta berlebihan dan benci fanatik.
Kita tentu berharap hamparan esok bagi kita lebih baik dari hari ini karena kita membaca hikmah, merangkum nilai.
*********
Kompas.co