Red: M.Iqbal
REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Danang Aziz Akbarona *)
Menyedihkan. Itulah kata yang mewakili perasaan menyaksikan video durasi dua menit yang digunakan sebagai kampanye pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat dengan tagar #BeragamItuBasukiDjarot. Jika ada kata lain setelah menyedihkan kata itu adalah membahayakan.
Ini menunjukkan betapa pembuat video (apakah ia mewakili imajinasi sendiri atau kelompoknya) kehilangan akal sehat dan pikiran lurus untuk menjaga sesuatu yang sebenarnya sudah baik. Setidak-tidaknya selama ini kita jaga sekuat tenaga agar tetap baik, yaitu keberagaman dan toleransi.
Pokok masalahnya, video itu dibuka dengan menampilkan stereotype orang berpeci dan bersorban sebagai agresor yang ingin meng-“ganyang cina”. Ini yang menyedihkan. Mudah sekali telunjuk mereka menuduh orang berpeci dan bersorban sebagai seolah-olah pemecah belah bangsa.
Sontak saja banyak kalangan umat, ulama, dan tokoh masyarakat memprotes video tersebut. Aa Gym, da’i yang terkenal santun itu juga tak bisa menutupi kegeramannya sambil mengatakan: “Pak Ahok, saya protes keras!.” Sejumlah elemen bahkan kembali melaporkan Ahok ke pihak berwajib atas penyebaran video berkonten SARA tersebut di laman Twitter dan Facebook pribadinya.
Stereotype dalam video itu memang menyedihkan dan sangat tidak berdasar. Bantahan yang dilakukan oleh tim kampanye maupun cawagub Djarot, yang menyatakan bahwa itu gambaran kerusuhan Mei 1998 juga mengada-ada. Khususnya soal penggiringan opini orang berpeci dan bersorban (identik dengan orang Islam) sebagai pelaku ‘kerusuhan’ dan “ganyang cina.” Blunderlah pokoknya.
Penulis curiga jangan-jangan itu yang ada di alam pikiran mereka: prejudice, syak wasangka, imajinasi buruk. Pikiran yang membahayakan bangsa karena daya rusaknya atas tatanan dan keharmonisan yang selama ini kita jaga. Ini adalah soal sikap-pikiran yang agresif (bukan asertif).
Sikap-pikiran agresif selalu menganggap orang di luar kelompok mereka “serba salah” atau “selalu salah”, tanpa sedikitpun mau mengevaluasi diri, bahwa sumber masalah itu awalnya dari mana (dari diri sendiri).
Lawan sikap-pikiran agresif adalah asertif, yakni sikap yang nguwongke, humanis, empatik, melihat orang lain secara positif, tak lanjut menyalahkan apa-apa di luar dirinya, tak pula memaksakan kehendak dan pikirannya dan merasa paling benar sendiri. Ia memahami masalah secara komprehensif dan sistemik, bukan parsial apalagi dengan kaca mata “ego”.
Bagi pejabat publik, sikap-pikiran agresif digambarkan dengan sikap kasar, suka marah-marah bahkan maki-maki, gusur sana gusur sini, serang sana serang sini, hingga nampak arogansi pikiran, sikap (dan juga jabatannya).
Dia berpikiran sempit seolah-olah permasalahan publik yang didera rakyat biasa (jelata) adalah buah kesalahan mereka sendiri. Dia gagal dan gagap mencandra akar sistemik bahkan struktural dari setiap permasalahan publik. Akhirnya, dia selalu menyalahkan dan membenarkan tindakan (kebijakan)-nya yang agresif.
Kembali soal video, 71 tahun kita merdeka, memang ada letupan-letupan kecil tentang kebinnekaan. Tapi kita melewatinya dengan cukup baik. Janganlah yang demikian dirusak dengan sikap agresif seperti digambarkan dalam video itu.
Baik-baiklah menjaga pikiran, lisan dan tindakan. Jangan mengungkit, memancing, mamantik sesuatu yang memang dari sananya berbeda. Kalau tidak, siap-siaplah untuk terbakar. Sayangnya api itu juga akan membakar bangsa ini. Jadi, hati-hati.
*) Pemerhati Masalah Kebangsaan
*********
Republika.co.id