Jumat , 18 Agustus 2017, 07:40 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh: Dr Syahganda Nainggolan*
Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, yang juga menjadi calon gubernur Jawa Barat, menyampaikan pandangan kontroversial dua hari lalu, yakni mengatakan seharusnya kita berterima kasih kepada Belanda. Dedi menyatakan positifnya Belanda yang membangun sistim irigasi yang kuat dan kokoh yang bisa mengatur manajemen air untuk pertanian dengan baik. Dan meninggalkan asset itu serta perkebunannya buat kita.
Pandangan ini berbeda dengan pandangan Ir Soekarno, alumni arsitektur ITB, ketika menyampaikan pandangannya di pengadilan “Landraad” atas dirinya, dengan tuduhan ‘Makar’ untuk menggulingkan pemerintahan yang Sah, di Bandung pada tahun 1930, dengan pledoi yang sangat monumental “Indonesia Menggugat”.
Dalam Pledoi itu Bung Karno mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang dibuat Belanda, seperti sistem irigasi, bukanlah semata mata ditujukan buat petani kita, melainkan kepada kebun kebun Belanda secara utama dan sisa airnya baru diterima petani kita.
Tentu saja Dedi Mulyadi belum sampai kepada tingkatan pemikiran Bung Karno tersebut. Hal ini terjadi karena apa yang disebut “seeing is believing”, seseorang mempercayai apa yang dilihatnya tanpa mendalami lebih jauh apa dibalik yang terlihat tersebut.
Dalam “seeing is believing”, penglihatan fisik menjadi acuan utama. Sedang masalah esensi menjadi sekunder. Dalam kasus sistem irigasi ini, Dedi melihat hebatnya infrastruktur irigasi tersebut karena kokoh dan bertahan sampai saat ini.
Sedangkan Bung Karno, selain melihat infrastruktur pertanian, juga mengkritik pembanguna infrastruktur lainnya seperti jalan, pelabuhan dan kereta api yang dibangun Belanda lebih dimaksudkan untuk memudahkan pengambilan rempah rempah dan kekayaan alam lainnya secara lebih mudah untuk diangkut ke Belanda.
Kenapa Dedi Mulyadi gagal melihat apa yang dilihat Sukarno? Bukankah ada contoh irigasi di Indonesia yang menjadi “World Heritage” yang mengagumkan dunia? Yakni Subak di Bali.
Subak di Bali selain diakui Unesco, juga menjadi bahan riset berbagai perguruan tinggi dunia karena kecanggihan manusianya secara kolektif mengatur pembagian air. Meski Subak sebuah infrastruktur yang canggih dan indah, namun kerjasama dan tanggung jawab petani menjadi utama. Artinya irigasi ini dari petani untuk petani. Sebuah kemandirian rakyat.
Mental Inlanders
Pembicaraan soal usul terima kasih Dedi Mulyadi ke Belanda, penjajah 3,5 abad bangsa kita, menjadi penting untuk melihat bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Kenapa? Karena pikiran di atas merupakan cerminan pikiran arus utama (mainstream) pemimpin bangsa ini yang melihat pembangunan (infrastruktur) hanya dari fisiknya saja.
Beberapa waktu lalu, Ahok di Jakarta, juga melakukan kerja keras melakukan pembangunan infrastruktur secara cepat. Tentu saja Jokowi di tingkat pusat saat ini melakukan pemokusan pada infrastruktur fisik. Lalu tidak ada yang bertanya seperti Bung Karno bertanya: untuk keuntungan siapa itu infrastruktur?
Pertanyaan untuk kepentingan dan keuntungan siapa pembangunan itu pada masa Bung Karno langsung terlihat vis a vis antara rakyat kita versus Belanda. Tapi, Belanda saat itu hanyalah berbeda warna kulit, di luar warna kulit, kesadaran orang saat itu Belanda adalah pemerintah yang sah.
Untuk memperkuat substansi pertanyaan itu Bung Karno mempertegas dengan vis a vis rakyat Marhaen vs Kapitalis. Bung Karno memperjelas bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintahan hanyalah semata mata menguntungkan kapitalis, kaum pemilik modal.
Setelah Indonesia Merdeka, Bung Karno telah memprediksi bangsa kita akan menghadapi persoalan yang lebih besar, yakni sulitnya menghadapi penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri. Bagaimana itu bisa terjadi?
Menurutnya, kapitalisme itu akan membonceng pemimpin2 bermental inlanders yang minderwarderheid (pemimpin yang selalu merasa rendah diri pada bangsa asing) untuk menanamkan uangnya dalam proyek proyek infrastruktur, tapi bukan pada kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan merampok sumberdaya alam kita secara mudah.
Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur hal itu? Bagaimana kita bisa menuduh pemimpin tertentu adalah inlander yang minderwarderheid?
Tentu kita harus melihat dalam dua hal: pertama, kita harus melihat ketimpangan yang terjadi dengan masuknya pembangunan Infrastruktur? Apakah ketimpangan sosial semakin besar atau semakin kecil? Kedua, apakah pemimpin tersebut secara sadar menerima situasi tersebut? Atau sebenarnya tidak melihat korelasinya, karena memang infrastruktur itu dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?
Hal ini memang sangat sulit membacanya, bukan tidak bisa. Untuk itulah pentingnya memasukkan secara tegas pikiran pikiran Bung Karno dan Founding Fathers lainnya, bahwa ukuran (tantangan) pembangunan sejatinya bukan terletak pada seberapa banyak pelabuhan yang dibangun, seberapa banyak bandara yang dibangun, seberapa panjang jalan tol dan jalan lainnya yang dibangun, seberapa banyak rel kereta api yang dibangun, dll.
Namun, pertanyaannya, seberapa untung rakyat atas pembagunan itu? Seberapa untung bangsa ini dibanding bangsa lain yang memberi hutang pada pembangunan tersebut?
Jika ukuran-ukuran kesejahteraan rakyat dan kemakmuran ini diutamakan, disitulah kita bisa tahu mana pemimpin yang benar dan mana pemimpin yang dimaksud Bung Karno sebagai kolaburator.
Merdeka!
*Syahganda Nainggolan, Pendiri Sabang Merauke Circle
*********
Republika.co.id