Muhammad Nasir Djamil
Anggota Komisi III DPR RI
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Senin, 27/03 – 2017 ).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mestinya lembaga yang terhormat dan bermartabat. Namun, alih-alih mengukir prestasi, dari lembaga ini justru muncul sejumlah kabar “miring.” Dari soal rebutan ketua, mobil, hingga penilaian disclaimer oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir 2006.
Tak ada cara yang efektif untuk membenahi Komnas HAM selain melakukan restrukturisasi kelembagaan secara total. Sebagai lembaga yang memegang amanah dua Undang-Undang: UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas memiliki peran strategis. Ironis jika persoalan internal lembaga ini membuat kepercayaan publik kian tergerus.
Karena itulah seleksi calon anggota Komnas HAM 2017-2022 mesti menjadi momentum bagi lembaga ini untuk melakukan “reformasi”-berbenah diri. Panitia seleksi harus lebih jeli dan ketat memeriksa rekam jejak, kompetensi, profesionalisme, integritas, dan komitmen kandidat yang dapat melakukan pembenahan di tubuh Komnas HAM. Kandidat yang sekadar “mencari makan” mesti disingkirkan.
Ada beberapa catatan yang patut menjadi pertimbangan dalam menentukan nakhoda kepemimpinan Komnas HAM ke depan. Pertama, terkait dengan persoalan pelanggaran HAM masa lalu. Dari 11 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM, delapan di antaranya masih menunggu kepastian penyidikan dan penuntutan dari Kejaksaan Agung.
Tidak ditindaklanjutinya proses penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM tentu bukan tanpa sebab. Penyebabnya, proses penyelidikan Komnas HAM tidak sesuai dengan standar yang dapat ditindaklanjuti Kejaksaan Agung. Ini menunjukkan masih minimnya kapasitas staf Komnas HAM dalam hal penyelidikan. Bahkan di Komnas HAM tidak ada divisi khusus yang menangani pelanggaran HAM berat.
Meski telah menjadi warisan pekerjaan rumah turun-menurun dari anggota Komnas HAM sebelumnya, tampaknya tidak ada satu pun anggota Komnas HAM yang berani berinovasi dan melakukan terobosan hukum di balik kelemahan undang-undang.
Kedua, lambatnya pengajuan kembali undang-undang terkait dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Percepatan pengajuan RUU KKR merupakan langkah nyata bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dibanding model kompromi non-yudisial dengan pemerintah yang hanya “jebakan” memperlambat proses penyelesaian.
Akibat kebanyakan “kompromi”, Komnas HAM justru dilaporkan ke Ombudsman RI oleh Koalisi Masyarakat Sipil pada Februari 2017.
Hal yang paling mengejutkan, RUU KKR pun tidak lolos masuk daftar Program Legislasi Nasional 2017. Padahal penyusunan RUU KKR telah menjadi mandat delegasi sejumlah undang-undang, di antaranya Pasal 47 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan Pasal 229 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
KKR Aceh kini telah terbentuk melalui qanun Aceh. Namun, tanpa adanya UU KKR Nasional, pelaksanaan KKR di Aceh dapat kehilangan landasan dan mati suri.
Ketiga, lazim terdengar bahwa kandidat komisi negara kerap didominasi para pencari kerja (job seeker). Jabatan di komisi negara sering menjadi tempat singgah para pensiunan atau aktivis senior lembaga swadaya masyarakat. Akibatnya, menduduki jabatan di komisi negara merupakan lahan empuk meningkatkan pendapatan, bahkan tidak jarang dijadikan batu loncatan mendongkrak popularitas.
Keempat, memiliki latar belakang aktivis di organisasi atau lembaga tertentu sering menjadikan anggota Komnas HAM masih menggunakan pola pikir organisasi atau lembaga asalnya. Akibatnya, pemahaman anggota terhadap isu HAM kerap mengacu pada kepentingan organisasi atau lembaga asal anggota tersebut. Maka tak mengherankan jika Komnas HAM kerap mengalami benturan kepentingan dalam beberapa hal.
Kelima, konflik internal antara anggota Komnas HAM dan Sekretariat Jenderal Komnas HAM yang tak kunjung mereda. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan, pengalaman, dan kapasitas anggota Komnas HAM dalam mengelola administrasi lembaga negara. Akibatnya, pelaksanaan tugas dan kewenangan anggota tak pernah berjalan mulus. Benturan administrasi dan kepentingan kerap menjadi kendala tidak optimalnya pelaksanaan tugas Komnas HAM.
Sejumlah catatan ini menjadi poin penting tim Panitia Seleksi Anggota Komnas HAM 2017-2022 di bawah pimpinan Profesor Jimly Asshiddiqie. Tentu kita tidak ingin meneruskan Komnas HAM yang “tidak bergigi” selamanya. Terlebih, poin keempat Nawacita Presiden Joko Widodo menyatakan akan memprioritaskan perlindungan anak, perempuan, dan kelompok masyarakat termarginalkan, serta penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.
Itu sebabnya, dalam pemilihan kandidat, publik perlu diberi akses seluas-luasnya guna mengawasi proses tersebut. Figur-figur yang mampu menjaga martabat Komnas HAM-lah yang harus dipilih, bukan justru figur yang menggerus lembaga ini.
********
Tempo.co