Sabtu , 16 September 2017, 06:00 WIB
Red: Maman Sudiaman
Oleh : Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, Sepuluh tahun lalu, stasiun TV NHK Jepang mewawancarai penulis-penulis cilik dari beberapa Sekolah Dasar di Indonesia. Menurut mereka, fenomena yang terjadi di negeri ini ketika itu sungguh luar biasa. Ada kumpulan anak kecil yang mampu menulis buku, diterbitkan dan laris di pasaran.
Anak kecil bisa menulis boleh dibilang punya kelebihan. Apalagi sampai menyelesaikan satu buku, tentu hebat. Lebih dari itu buku yang kemudian diterbitkan laku di pasaran, sungguh luar biasa.
Bahkan dibanding Jepang yang budaya bacanya sangat tinggi, dan oplah penjualan bukunya ratusan hingga ribuan kali lipat Indonesia, sementara korannya bisa mencapai jutaan eksemplar, belum muncul fenomena penulis cilik sebagaimana Indonesia kala itu. Hebat!
Sepuluh tahun berlalu, ke mana mereka?
Di antara nama-nama penulis cilik, ada yang kuliah di Universitas Negeri, ada juga yang melanjutkan pendidikan di Eropa atau Amerika. Sebagian besar tetap spesial, punya pencapaian di atas rata-rata teman seumur. Namun bisa dibilang amat sangat sedikit yang terus menulis. Kelak mereka masuk ke dunia kerja namun bukan berprofesi sebagai penulis. Bakat yang luar biasa akan tercecer, terabaikan.
Fenomena apa kah ini? Benarkah dunia menulis kehilangan daya tarik? Atau profesi penulis tidak menjanjikan, seiring royalti yang menyusut? Hanya Allah yang tahu.
Tiga minggu lalu bersama beberapa teman dari kalangan sastra, kami menjenguk penulis, Hamsad Rangkuti. Awalnya mengira sang sastrawan jatuh sakit karena usia, ternyata terselip cerita pilu di baliknya.
Sang istri menuturkan – karena suami hanya terbaring tak bisa bergerak atau berkata-kata- Hamsad Rangkuti mulai sakit sejak 2010. Setelah beliau pulang dari Thailand usai mengantungi sebuah penghargaan. Ada rasa bangga, setidaknya karya putra Indonesia harum di luar negeri. Tak perlu disebut pahlawan, sebuah penghargaan sudah memberinya kebahagiaan.
Akan tetapi situasi di dalam negeri justru sebaliknya. Ketika pulang, kedua suami istri terkejut melihat bangunan tempat pembuangan sampah berukuran enam kali sebelas meter berdiri di halaman rumah. Pemerintah kota setempat yang membangunnya.
Sang penyair geram. Halaman luas merupakan ruang bebas tempat ia menghirup kopi sambil menikmati udara segar. Atmosfer yang mengundang inpirasi. Sengaja peraih The S.E.A Write Award itu membeli rumah berhalaman besar untuk memenuhi ruang batinnya.
Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan bilangan tahun terlewati. Hingga detik ini tempat pembuangan sampah berukuran besar itu masih tegak. Semua protes pihak keluarga terbang terbawa angin, walau pun bisa membuktikan surat kepemilikan rumah.
“Awalnya Bang Hamsad terkena muntaber, lalu merambat ke penyakit lain. Sejak itu ia mati aura,” cetus istrinya.
Ya, sang sastrawan kehilangan daya. Tak lagi menulis. Keluarga kemudian memboyongnya meninggalkan rumah yang dibangun dengan impian, dan dari tabungan menahun.
Pekan lalu, satu lagi isu penulis naik ke panggung berita. Tere Liye mengungkap bagaimana penulis membayar prosentase pajak lebih dari profesi kebanyakan. Belum mendapat uang sudah dipotong pajak, lalu setelah diterima dipangkas lagi.
“Royalti itu kan laba bersih.”
Lucunya pendapat itu muncul dari orang yang juga penulis. Saya dibuat heran tapi kalimatnya mungkin mewakili pandangan mereka yang bukan penulis.
Menyelesaikan satu novel, membutuhkan perjuangan, waktu, juga dana yang tidak sedikit. Seorang penulis ternama pernah bercerita, begitu memulai kalimat pertama, ia menolak belasan bahkan puluhan undangan sebagai pembicara selama 6 bulan ke depan.
Dengan komitmen itu ia telah mengorbankan potensi penghasilan. Belum lagi biaya riset, yang terkadang tidak bisa dihindari, dan mengharuskan penulis melakukan perjalanan, keluar kota bahkan mengunjungi negeri lain. Semua modal tentu dikorek dari saku sendiri.
Uniknya tak semua penulis kemudian mendapatkan rumah penerbit. Mereka yang diterbitkan, belum tentu menerima royalti yang cukup untuk mengembalikan ‘modal’ selama menulis. Pada kebanyakan penulis sulit sekali melalui angka tertentu, untuk mencapai BEP.
Satu lagi, selama ini ide dan pemikiran serta kreativitas seorang penulis hanya dihargai sepuluh persen. Sembilan puluh persen dari harga jual adalah terkait pada sosok buku, bukan ide.
Alhamdulillah kini sudah ada semacam kesepahaman cara menghitung pajak penulis dan menjadikan royalti menjadi pajak yang dibayar di muka. Dengan itu penulis bisa menempatkan diri sama, perhitungan dan azas keadilannya dengan profesi lain. Beberapa hal masih terus diperjuangkan. Semoga ke depan apresiasi untuk para penulis di tanah air terus membaik.
Serba serbi persoalan penulis tidak berhenti di sini. Dengan serbuan buku bajakan di toko online, kini masyarakat tidak perlu pergi ke sentra buku bajakan yang jauh, tidak aman dan panas, untuk mendapatkan buku lebih murah walau rendah kualitas. Mereka bisa membeli, tanpa perlu meninggalkan kenyamanan rumah. Lebih miris lagi, bukan perseorangan yang menggelar buku bajakan tersebut, melainkan toko online besar juga menyediakannya.
Peradaban dunia dimulai dari menulis, konsep negara federal, sistem demokrasi, konsep ekonomi kapitalis atau sebaliknya, kemerdekaan, semua bermula dari sebuah tulisan. Bagaimana generasi masa depan mengenal sejarah pun tidak terlepas dari tangan penulis.
Lantas bagaimana nasib mereka di Tanah Air tercinta?
Demi para pembaca buku di pelosok negeri, sungguh saya berharap situasi akan membaik- dan ini bukan semata persoalan materi- hingga tidak sampai terjadi, penulis di Indonesia berbondong-bondong menyarungkan pena mereka, memutuskan beralih profesi saja.
********
Republika.co.id