Menjadi Pelayan Sejati

Menjadi Pelayan Sejati

796
0
SHARE
zikir. (Rep).

Red: Agung Sasongko

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

zikir. (Rep).
zikir. (Rep).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Suatu ketika, Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW, merasakan lelahnya mengurus rumah tangga. Setiap hari ia harus menyiapkan makanan dan segala keperluan dan kebutuhan rumah tangga untuk suami dan anak-anaknya. Mulai dari mencuci pakaian, membuat tepung dan roti, hingga membersihkan rumah sehingga badannya tampak lebih kurus dari biasanya.

Untuk meringankan beban, Fatimah bermaksud mencari seorang pembantu yang mau bekerja di rumahnya. Fatimah mendengar berita bahwa Rasulullah mempunyai beberapa orang tawanan perang. Dia dan suaminya Ali bin Abi Thalib RA menemui Rasul dengan maksud meminta salah seorang dari mereka untuk menjadi pelayannya.

Rasul menolak permintaannya dan kepada keduanya beliau menyatakan, “Bagaimana aku akan memberimu seorang pelayan, sementara Ahlus suffah (para sufi yang tinggal di masjid Nabawi) sedang kelaparan dan aku belum tahu makanan apa yang harus aku hidangkan buat mereka. Namun demikian, aku tunjukkan kepada kalian berdua sesuatu yang lebih baik dari memiliki pelayan. Engkau menyebut subhanallah 33 kali, alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 33 kali selepas shalat itu jauh lebih baik daripada engkau memiliki seorang pelayan.” Sejak mendengar nasihat Rasul tersebut, Ali bin Abi Thalib tidak pernah meninggalkan zikir dan wirid tersebut.

Kisah tersebut mengingatkan kita pada tiga hal. Pertama, larangan memanjakan diri secara berlebihan. Sebaliknya, setiap orang harus mampu mengurus diri sendiri dan rumah tangganya. Rasul SAW tidak ingin putrinya itu bergantung kepada orang lain, selagi mampu melayani diri sendiri.

Pendidikan kemandirian ini sekaligus menanamkan sifat dedikatif untuk mau melayani orang lain dan tidak selalu minta dilayani. Pendidikan kemandirian ini sekaligus meneguhkan pentingnya model kepemimpinan dedikatif. “Sayyidul qaumi khadimuhum” (sebaik-baik pemimpin adalah yang mau melayani rakyatnya).

Kedua, spiritualisasi orientasi hidup jauh lebih penting da ripada terjebak dalam ‘kenikmatan duniawi’ sesaat yang menipu dan menyesatkan. Bagi seorang putri Rasul, membiasakan zikir dan wirid selepas shalat itu jauh lebih baik daripa da memiliki seorang pelayan.

Tidakkah pada era sekarang banyak orang tua salah orientasi dalam mendidik dan membesarkan anak-anak mereka dengan menyerahkan pengasuhannya kepada pembantu? Berzikir kepada Allah setelah shalat merupakan bentuk pelayanan diri sendiri yang terbaik karena dapat membebaskan diri dari segala bentuk keluh kesah dan masalah.

Ketiga, menentukan skala prioritas. Rasul tahu persis apa yang menjadi kebutuhan putrinya maupun umatnya. Rasul menolak permintaan putrinya karena di Masjid Nabawi masih banyak hamba-hamba Allah yang kelaparan. Mereka lebih membutuhkan uluran tangan.

Kebijakan Rasul ini mempertegas komitmen seorang pemimpin untuk memahami realitas yang dihadapi rakyatnya dan bukan mengutamakan pribadinya. Pemimpin yang memiliki sense of crisis, kepedulian sosial, dan tidak mengedepankan pencitraan inilah yang harus diteladankan pada umatnya. Wallahu a’lam.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY