– Teuku Radja Sjahnan, Konsultan, Mantan Auditor Di Bpk Ri, Serta Pengelola SitusĀ Www.jariungu.com
Jakarta, Garut News ( Jum’at, 13/06 – 2014 ).
Dalam kesaksiannya pada 9 Mei lalu di pengadilan kasus Bank Century, mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono menganalogikan penanganan kasus bank bobrok ini dengan penanganan rumah preman yang terbakar di tengah permukiman padat.
Kalau tidak dipadamkan, seluruh permukiman akan terbakar.
Sama halnya, kalau Bank Century tidak diselamatkan, krisis akan merembet ke perbankan nasional.
Analogi ini masih kurang tepat.
Yang lebih tepat: ada rumah preman di tengah permukiman padat tengah terbakar, tapi tak mudah untuk memadamkannya.
Gerak tim pemadam kebakaran terhalang suatu peraturan, karena di jalan masuk ke lokasi itu ada situs bersejarah yang dilindungi keberadaannya oleh undang-undang.
Ini dilematis.
Melanggar peraturan dengan merobohkan situs itu, atau tetap taat peraturan dengan akibat kebakaran merambah ke seluruh permukiman, termasuk akhirnya ke situs sejarah itu?
Masing-masing profesi punya pendapat sendiri.
Ahli sejarah ingin mempertahankan situs itu, apalagi didukung oleh peraturan yang ada.
Sedangkan auditor dan penegak hukum, mengambil jalan yang patuh pada peraturan.
Namun bagaimana dengan para pemukim di sekeliling rumah preman yang semakin ngeri melihat api yang siap melahap rumahnya?
Mereka tentu akan meminta agar situs sejarah itu dirobohkan saja.
Begitu pula sikap masyarakat perbankan Indonesia pada November 2008.
Bayang-bayang rush muncul.
Ngeri terhadap apa yang berkembang di Bank Century, mereka berharap Bank Indonesia dan pemerintah memadamkan kebakaran di Bank Century itu.
Masyarakat umum Indonesia adalah analogi para pemukim itu.
Bukankah krisis moneter dan perbankan pada 1997-1998 tak hanya berdampak pada perbankan, tapi juga pada pailitnya para debitor bank sehingga diambil alih oleh BPPN?
Banyak pegawai yang diberhentikan dan terpaksa mencari nafkah dengan berbagai cara.
Masalah di perbankan segera menjadi masalah nasional.
Krisis di Bank Century tidak sempat menjadi masalah nasional karena para “pemadam kebakaran” bertindak cepat, termasuk dengan santun mengidentifikasi peraturan yang dapat menghalangi usaha pemadaman dan mengubahnya sehingga usaha itu tidak melanggar peraturan yang ada.
Perekonomian tak terpengaruh, tidak ada bank yang kemudian ikut kolaps, tidak ada pegawai bank atau pegawai debitor bank yang terpaksa menggantikan dasinya dengan celemek di dapur untuk mencari nafkah.
Tapi tahun ini, para pemadam kebakaran tersebut tengah diadili, dituduh bersalah mengubah peraturan agar “pemadaman kebakaran” dapat berjalan.
Banyak fakta yang mulai terbuka di pengadilan kasus Century.
Ada “anggota pemadam kebakaran” yang menerima uang dari pemilik rumah yang diselamatkan dan ternyata data kebutuhan biaya penyelamatan yang disampaikan BI ke pemerintah tidak akurat, jauh lebih besar dari perhitungan awal.
Oknum yang menggunting dalam lipatan, baik sebelum maupun sesudah krisis, telah mengkhianati ketulusan perjuangan para pemadam kebakaran lain, dan tentu perlu mendapat hukuman yang setimpal. Kelalaian dalam menghitung jumlah biaya penyelamatan Bank Century juga demikian.
Namun para “pemadam kebakaran” itu tidak boleh dihukum karena mengubah peraturan.
Hantu Bank Century akan muncul di setiap krisis perbankan masa mendatang.
Bila kita ada di permukiman itu nanti, dan pemadam kebakaran tidak kunjung bertindak, mungkin kita hanya bisa menatap api menjalar sambil mengingat-ingat apakah kita termasuk pihak yang menghukum para pemadam kebakaran pada 2008. *
******
Kolom/Artikel : Tempo.co