Menelusuri Jejak Mobil-Mobil Warisan Presiden Sukarno

Menelusuri Jejak Mobil-Mobil Warisan Presiden Sukarno

1110
0
SHARE
Mobil Buick-8 milik Presiden Sukarno.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Febrianto Adi Saputro, wartawan Republika.co.id

Mobil Buick-8 milik Presiden Sukarno.
Mobil Buick-8 milik Presiden Sukarno.

Indonesia baru saja merdeka pada Jumat, 17 Agustus 1945. Sebagai bangsa yang masih sangat hijau, sudah barang tentu banyak aset-aset yang belum dimiliki Republik Indonesia saat itu. Salah satunya adalah kendaraan dinas presiden dan wakil presiden.

Melihat situasi itu, Sudiro dan sejumlah pemuda lain pun “mencurikan” mobil Buick-8 yang merupakan mobil terbaik di masanya. Mobil buatan Amerika yang dibuat hanya 1.451 unit saja di seluruh dunia itu pun resmi menjalankan tugas kenegaraan saat awal-awal Indonesia menetas.

Kendaraan dinas Presiden Sukarno sejak 19 Mei 1979 terparkir rapi di salah satu sudut Museum Joeang 45 di Menteng, Jakarta Pusat. Mobil itu juga dirawat para pecinta mobil antik.

Salah satu mobil Sukarno, Imperial Crown.
Salah satu mobil Sukarno, Imperial Crown.

Guna menjelajahi sejarah dari mobil itu, saya pun menemui Pak Untuy, pemadu senior Museum Joeang. “Mobil tersebut ditemukan oleh Sudiro di belakang gedung Departemen Perhubungan pada tahun 1945,” kata Pak Untuy membuka cerita.

Pak Untuy lalu merawikan sejarah ditemukannya mobil itu hingga diserahkan kepada Sukarno. Siapa sangka kendaraan dinas Presiden Sukarno adalah hasil rampasan Sudiro, tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia dari seorang sopir yang bekerja untuk orang Jepang. Mobil inventaris Kepala Jawatan Kereta Api yang dijabat orang Jepang itu “dirampas” Sudiro yang saat itu berusia sekitar 34 tahun saat terparkir.

“Sopir mobil tersebut dirayu oleh Pak Sudiro, kemudian diserahkanlah kunci itu kepada Pak Sudiro, setelah kemerdekaan. Mobil itu lalu dibawa oleh temannya Pak Sudiro untuk diberikan kepada Presiden Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur,” ujar pemandu senior Museum Gedung Joeang 45 itu merawikan.

Pria yang kini bertugas di Museum MH Thamrin, Jakarta Pusat itu melanjutkan, melihat mobil pemberian Sudiro itu, Sukarno sempat kaget. Pasalnya Sukarno yang saat itu baru dilantik sebagai presiden memang belum memiliki mobil.

“Apalagi mobil buatan Amerika tahun 1939 tersebut adalah mobil terbagus di Jakarta menurut Sudiro,” ucap dia. Sejak saat itu hingga pada 1949, mobil tersebut menjadi kendaraan dinas Presiden Sukarno.

Mobil berplat Rep 1 itu hanya keluar kandang satu kali dalam satu tahun, yakni saban 16 Agustus. Biasanya mobil yang pada masanya dihargai 1.000 sampai 2.000 dolar AS tersebut akan dibawa ke Tugu Proklamasi yang jaraknya tak jauh dari Gedung Joeang.

Dalam buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia tulisan Cindy Adams, Sukarno membeberkan sejarah mobil yang didapatkan dari Sudiro yang pada 9 November 1953 dilantik menjadi Wali Kota kelima Jakarta.

“Para pengikutku yang setia menganggap sudah seharusnya seorang presiden memiliki sebuah sedan mewah. Karena itu mereka mengusahakannya. Sudiro mengetahui ada sebuah Buick besar muat tujuh orang yang merupakan mobil paling bagus di Jakarta. Dengan gorden di jendela belakang,” kata Bung Karno.

Sejarawan Alwi Shahab saat saya temui di ruang kerjanya, menceritakan si sopir diminta kakek aktor Tora Sudiro itu untuk menyerahkan kunci mobil yang sering disebut Limited-8 tersebut. “Sudiro kemudian meminta sopir menyerahkan mobil tersebut dan memintanya pulang kampung biar tidak dimarahi majikannya,” kata Abah Alwi, sapaan Alwi Shahab.

Saya pun mencari tahu keberadaan mobil-mobil yang pernah digunakan Presiden Sukarno. Pak Untuy ;lalu merekomendasikan saya menemui Perhimpunan Penggemar Mobil Kuno Indonesia (PPMKI). Menurut Pak Untuy, komunitas tersebut menyimpan beberapa mobil-mobil Sukarno lainnya.

Terawat di Tangan Pecinta Mobil Antik

Saya lalu mengikat janji untuk bertemu dengan mantan ketua PPMKI se-DKI Jakarta, Hauwke. Disuguhi segelas kopi susu hangat di halaman belakang rumahnya, Hauwke dengan senyum ramahnya pun membuka percakapan bagaimana ia bisa menyimpan dan merawat mobil milik Bung Karno. Saya menyimak sembari sesekali mencatat.

Hauwke mengaku tidak ingin disebut sebagai seorang kolektor. Ia ingin disebut sebagai seorang restorer, yaitu membeli mobil dengan kondisi jelek, untuk kemudian diperbarui kembali.

“Sebab kalau kolektor itu kan membeli, dikumpulin, yang udah jadi, tinggal pakai, kalau bosan jual. Kalau saya enggak, saya betulin supaya bisa sharing ke orang-orang seperti lewat pameran atau karnaval,” kata pria yang saat ini sedang menyelesaikan touring dari Indonesia ke Eropa menggunakan mobil.

Kegemaran Hauwke terhadap dunia mobil klasik berawal ketika ia masih sekolah di Australia pada 1979. Baru pada 1980, ia kembali ke Indonesia dan melihat mobil-mobil oplet yang beroperasi ke beberapa daerah di Jakarta dan sekitarnya.

“Dari situ saya berpikir, kenapa saya gak hunting, mumpung ini kan belum banyak orang yang hobi. Nah disitu awal mulanya,” kenang Hauwke. Hingga 1990-an, koleksi mobilnya sudah mencapai 50 lebih.

Keikutsertaannya bergabung ke dalam PPMKI berawal pada 1980. Ketika itu PPMKI dibentuk oleh Solihin GP pada 1979. Hauwke juga pernah menjadi ketua PPMKI untuk wilayah DKI Jakarta selama sembilan tahun, dari 1986 hingga 1995.

Hauwke menganggap perlu adanya klub yang solid untuk menaungi orang-orang dengan hobi yang sama, dan supaya mobil-mobilnya bisa dinikmati tidak hanya oleh dirinya sendiri, melainkan juga dinikmati orang lain dan untuk menginspirasi banyak orang.

Empat dari sekian banyak koleksi mobil milik Hauwke adalah mobil kepresiden Sukarno yang terparkir di galerinya. Mulanya berawal pada 1987 saat itu Hauwke menjabat sebagai Ketua se-DKI, sedangkan Solihin GP sebagai Sekdalobang. PPMKI mendapat kabar ada inventaris negara berupa mobil kepresidenan yang akan dilelang karena tidak dipakai negara.

“Pak Solihin kemudian manggil kita, PPMKI dan para pengurus. Harus diselamatkan karena ini aset negara yang mengandung historikal tinggi. Akhirnya saya tim dikasih waktu seminggu untuk mencari dana,” jelasnya.

Pada akhirnya PPMKI mendapat mobil tersebut melalui hibah. “Kalau gak salah satu mobil itu 750 ribu (rupiah), paling mahal pelepasan sih 1,5 juta (rupiah). Ada kuitansinya kok, jadi boleh dibilang gak bayar lah, karena kita pure dari PPMKI, bukan makelar make a tender, enggak.

Karena kebetulan Pak Solihin GP di Sekdalobang, dia yang mengontrol, waktu itu Pak Moerdiono (mantan menteri sekertaris negara di zaman Soeharto) menterinya. Semua suratnya juga lengkap,” tutur Hauwke.

PPMKI kemudian mengambil mobil-mobil tersebut di Lawanggintung, Bogor, gudang mobil-mobil aset negara yang tidak terpakai. Hauwke menjelaskan kondisi mobil-mobil tersebut ketika ditemukan sangat memprihatinkan. Bahkan saking sulitnya mengevakuasi, ia membutuhkan waktu 24 jam.

“Saya melihatnya mengenaskan sekali. Mobil kepresidenan sudah dibuang-buang gitu padahal mobil-mobil itu berjasa,” ungkap Hauwke dengan penuh semangat.

Lebih parah lagi, kondisi mobil tersebut ketika itu sudah berantakan dan tidak laik jalan. “Mobil tersebut sebenarnya kilometernya masih di bawah 10 ribu, karena kan cuma dipakai antar jemput tamu ke bandara, namun semua elektroniknya dicolongin seperti jam, radio,” katanya.

Kemudian mobil-mobil yang ditemukan tersebut dibagi-bagi kepada anggota sesama PPMKI, dan terkadang Hauwke mengimbau kepada mereka untuk mengeluarkan mobil tersebut untuk beberapa acara seremonial. “Seperti ketika pelantikan Presiden keenam Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono, acara di Solo ketika Wali Kota pada saat itu masih Joko Widodo, dan lain-lain,” ucap dia.

Mobil eks kepresidenan yang ada di Hauwke sendiri berjumlah empat mobil. Pertama, mobil Chrysler Windsor 1947, mobil tersebut pernah dipakai Jenderal Besar Soedirman waktu ibu kota Indonesia masih di Yogyakarta, dan kemudian dihibahkan kepada Sukarno. Mobil tersebut juga pernah dipakai ketika Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung.

Mobil kedua, Chrysler Imperial 1959. Mobil tersebut dipakai untuk memeriksa barisan waktu 17 Agustus. “Ada kisah menarik pada mobil, konon mobil tersebut pernah dengan sengaja mesinnya dimatikan dan kemudian rakyat mendorong mobil tersebut dari Kemayoran ke Istana,” kata Hauwke.

Ketiga, Cadillac 1950. Mobil tersebut pernah dipakai Bung Karno bersama Ayub Khan, Presiden Pakistan. Keaslian mobil tersebut tampak terjaga, hal itu terlihat dari cat mobil yang terkelupas.

“Saya ingin mobilnya Sukarno apa adanya begitu, seperti aslinya,” ujar pria yang mengaku pernah membawa mobil Sukarno ke Blitar untuk berziarah ke makam Bung Karno.

Keempat, Zill 111 buatan 1961. Salah satu mobil produksi Rusia ini merupakan pemberian Nikita Kruschev, perdana menteri Rusia pada 1958-1964.

Awalnya Hauwke hanya memilik dua mobil Sukarno. Namun karena ada salah satu kawannya yang juga menyimpan mobil eks Sukarno, meninggal dunia, maka mobil tersebut ia beli karena keluarganya tidak bisa merawat.

Hauwke sangat berterima kasih kepada PPMKI yang telah menyelamatkan mobil-mobil yang menyimpan banyak sejarah. “Terus terang saya berterima kasih sekali, saya mengapresiasi sekali Pak Solihin GP bisa memberi inisiatif, untuk memberi kesempatan kepada klub PPMKI ini untuk menyelamatkan mobil-mobil tersebut, kalau tidak wah itu sudah sampai ke luar negeri kita sudah gak punya apa-apa,” ujarnya.

Hauwke juga berpesan seharusnya orang-orang indonesia harus lebih mengapresiasi barang-barang kuno yang dimiliki oleh bangsa ini. “Orang-orang yang mengapresiasi barang kita ini kebanyakan asing, orang asing datang ke sini enggak ngerti Indonesia tiba-tiba beli barang-barang kuno Indonesia. Dibawain ke sana, itu saya terus terang sedih gitu lho,” ungkapnya.

Karena keprihatinan itulah ia kerap mengajak teman-teman dan anak-anak datang ke galerinya yang berlokasi di Cipete, Jakarta Selatan. “Saya bukan show off, saya membawa teman-teman, anak-anak datang kemari, supaya belajar. Kalau bisa becak kumpulin yang tua-tua, hilang kayak apa sekarang. Andong yang tua-tua kumpulin dah. Kalau punya uang, jangan cuma beli Rolex, belilah barang-barang yang berguna untuk anak cucu kita. Gitu lho,” kata Hauwke berpesan.

Kopi susu di atas meja kaca yang disuguhi Hauwke tidak terasa sudah hampir habis setengahnya dan tak lagi hangat. Saya pun menyudahi wawancara dengan Hauwke dan berpamitan.

*********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY