Reza Syawawi,
Peneliti Hukum pada Transparency International Indonesia
Garut News ( Jum’at, 14/03 – 2014 ).
“Terdakwa bersama-sama dengan Boediono, selaku Gubernur Bank Indonesia (BI), Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Gubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjrijah selaku Deputi Gubernur BI Bidang Pengawasan, dan Budi Rochadi selaku Deputi Gubernur BI Bidang Sistem Pembayaran, menyetujui pemberian fasilitas FPJP dari BI ke Century”.
Kalimat tersebut adalah sepotong dakwaan atas nama terdakwa mantan Deputi Gubernur BI Budi Mulya (BM) dalam persidangan perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Koran Tempo,7/3).
Budi Mulya dijerat dengan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 memuat rumusan tentang perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sedangkan pasal 3 merumuskan tentang perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Masing-masing pasal ini memuat ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun.
Dalam terminologi hukum, frasa “bersama-sama” merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tentang delik penyertaan (deelneeming).
Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa pelaku dipidana sebagai pembuat delik bagi mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doen pleger), yang turut serta melakukan (medepleger), dan yang sengaja menganjurkan (uitlokker).
Jika melihat status setiap orang yang disebutkan dalam dakwaan, berarti hanya Boediono dan Miranda Swaray Gultom (MSG) yang berstatus sebagai terperiksa.
Sedangkan Siti Chalimah Fadjrijah telah berstatus tersangka, dan Budi Rochadi telah meninggal pada 2011.
Secara hukum, penetapan seseorang menjadi tersangka atau terdakwa haruslah dinyatakan sesuai dengan hukum acara yang berlaku.
Menurut UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002), jika di dalam penyelidikan ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang cukup, penyelidikan tersebut dilanjutkan.
Artinya, ketika seseorang dinyatakan sebagai tersangka, KPK telah menemukan minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup terkait dengan perkara tersebut.
Dalam proses penyidikan itulah, penyidik kemudian mengembangkan kasus, mencari alat bukti lain yang relevan, termasuk memeriksa pihak tertentu yang diduga mengetahui atau bahkan terlibat dalam sebuah tidak pidana.
Sebagaimana diketahui bersama oleh publik, Boediono dan MSG telah diperiksa beberapa kali oleh KPK terkait dengan kasus Century, walaupun dalam pemeriksaan terhadap Boediono justru dilakukan secara “istimewa” oleh KPK.
Pemeriksaan yang terkesan “berbeda” tersebut kemudian menghasilkan sebuah delik penyertaan melalui frasa “bersama-sama” dalam dakwaan BM.
Dalam logika yang sederhana, dakwaan tersebut menjelaskan bahwa semua pihak yang disebutkan telah melakukan sebuah perbuatan yang diduga sebagai sebuah tindak pidana.
Tulisan ini tentu saja tidak bertujuan mendahului proses pemeriksaan di pengadilan, dan bukanlah untuk menjustifikasi status hukum seseorang.
Namun ini ditulis dalam kerangka teori dan akademik yang jelas agar publik ikut mengawasi penyelesaian kasus ini.
Proses hukum di KPK tentu saja menjadi proses yang berdiri sendiri tanpa harus terpengaruh proses politik yang masih saja “dipaksakan” oleh DPR.
Penyelesaian kasus Century secara politik sesungguhnya telah berakhir semenjak DPR tidak melanjutkan menggunakan hak menyatakan pendapat.
Padahal pilihan atau opsi C yang dipilih oleh mayoritas anggota DPR menyatakan bahwa proses bailout Bank Century bermasalah.
Kuatnya sokongan koalisi dalam pemerintahan akhirnya berhasil menunda proses politik tersebut.
Namun ada kondisi yang berbeda menjelang penyelenggaraan Pemilu 2014, sokongan koalisi sepertinya mulai mengendur.
Ada upaya untuk melanjutkan proses politik tersebut, setidaknya hal itu terlihat ketika ada inisiasi mengenai pemanggilan Boediono oleh anggota DPR.
Sayangnya, DPR telah kehilangan momentum untuk menggunakan proses politik dalam kasus ini, terutama yang terkait dengan kewenangan untuk “meng-impeach” wakil presiden.
Fakta politik saat ini sepertinya tidak memungkinkan bagi anggota DPR untuk menggunakan hak politik tersebut, mengingat hampir 90 persen anggota DPR kembali mencalonkan diri.
Mereka tentu akan disibukkan oleh kegiatan kampanye di daerah pemilihan masing-masing.
Di luar itu semua, publik mungkin patut mengapresiasi kinerja KPK dalam kasus ini.
Dakwaan KPK seolah menjadi “pertanda” bahwa jala KPK baru saja dilemparkan untuk menjerat siapa pun yang harus bertanggung jawab atas kasus bailout Bank Century.
*****
Kolom/artikel Tempo.co