Garut News, ( Sabtu, 05/10 ).
Kamis (19/9/2013), momen bersejarah bagi masyarakat Dayak Benuaq di Muara Tae.
Hari itu adalah hari dimana mereka memasuki babak baru melawan kompeni hutan.
Di hutan Melinau, Petrus Asuy, tokoh adat masyarakat Muara Tae, menunjukkan biji-biji dan tanaman muda ulin, kapur, meranti, dan karet.
Beberapa biji berserakan di atas tanah sedangkan tanaman muda berada di dalam polybag.
“Ini semua kita orang Muara Tae kumpulkan,” kata Petrus.
Biji sengaja dikumpulkan agar bisa ditanam kembali.
Biji ulin awalnya ditaruh di sebuah lubang tanah dangkal, dan ditunggu hingga berkecambah.
Kemudian, biji dipindahkan ke polybag hingga tumbuh menjadi tanaman muda.
Kurang lebih setelah berumur enam bulan, tanaman muda siap dipindahkan ke lokasi baru, diharapkan tumbuh menjadi pohon ulin, terkenal dengan kayunya kokoh.
Bentuk perlawanan
Pengumpulan, dan pembibitan ulin serta tumbuhan berkayu lain memang menyita waktu, dan tenaga warga Muara Tae.
Namun, langkah itu tetap dilakukan demi memertahankan, dan mengembalikan hutan adat mereka yang hilang.
Selama puluhan tahun, Muara Tae dijajah “kompeni” hutan alias pelbagai perusahaan merampas hutan adat.
Petrus berkata, “kompeni” hutan itu, memang bekerja seperti penjajah, bukan hanya merebut lahan, tetapi juga memecah belah persaudaraan sesama Daya Benuaq.
Pada 1971, PT Sumber Mas perusahaan HPH masuk.
Perusahaan ini juga membuka HTI pada 1993.
Lahan adat warga Muara tae tersita.
Berlanjut pada 1995, perusahaan kelapa sawit bernama PT London Sumatera datang.
Penetapan lahan seluas 11.800 hektar sempat memicu konflik, dan mengakibatkan kriminalisasi masyarakat adat setempat.
Tahun 1999, sejumlah 11 warga ditangkap lantaran melakukan perlawanan.
Tak cuma sawit, tahun 1996, PT Gunung Bayan Pratama Coal, perusahaan tambang, mulai beroperasi.
Aktivitas perusahaan ini, mengakibatkan kerugian lantaran menutup aliran Sungai Jebor merupakan anak sungai Nayan, sungai mengaliri wilayah setempat, serta mencemari sungai lainnya.
Warga menjadi kesulitan mendapatkan air bersih.
Sampai 2010, masih ada saja perusahaan baru datang.
PT Borneo Surya Mining Jaya membuka kebun kelapa sawit.
Terakhir, pada 2011, datang lagi perusahaan bari bernama PT Munte Waniq Jaya Perkasa.
Bukan hanya merugi soal lahan, warga Muara Tae juga kudu kehilangan persaudaraan dengan sesama orang Dayak, warga Muara Ponaq.
Warga Muara Tae punya sikap beda dengan Muara Ponaq terkait kedatangan perusahaan tersebut.
Warga Muara Ponaq bersedia menjual lahannya, sedangkan Muara Tae tidak.
Masrani, tokoh warga Muara Tae lain, mengatakan bupati wilayah setempat juga terlibat dalam memicu konflik.
Dayak Benuaq punya kebiasaan membagi wilayah hutan berdasar aliran sungai.
Namun, bupati sempat menetapkan batas lahan antara Muara Tae, dan Muara Ponaq tanpa memedulikan tradisi warga setempat membagi hutan.
Akibatnya, terdapat wilayah Muara tae dinyatakan wilayah Muara Ponaq hingga memicu konflik.
Kasus terakhir pula menyebabkan Masrani kudu kehilangan jabatan Kepala Desa.
Padahal, dialah dipercaya masyarakat.
“April lalu saya diberhentikan sebagai kepala desa oleh bupati. Sekarang, kepala desanya bukan orang Muara Tae,” paparnya.
Puluhan tahun beragam perusahaan berdatangan, hutan Muara Tae habis.
Masrani mengungkapkan, “Kita dijajah tiga kali, oleh HPH, HTI, sawit dan tambang.”
Dulu, luas hutan Muara Tae mencapai 11.000 hektare.
Kini, luas hutan ada tinggal 1.000 hektar.
Itu pun tak semuanya berkondisi baik.
“1.000 hektar itu semak. Hutan masih bagus tinggal 100 hektar. Di sini, Melinau ini, masih bagus,” ungkap Petrus.
Bagi Petrus dan Masrani, upaya pembibitan beragam jenis kayu itu, satu bentuk perlawanan.
Mereka berusaha merebut kembali hutan telah dirampas.
“Kita juga tahu sekarang ini yang tebang pohon banyak tetapi yang tanam tidak ada. Polisi bisa tangkap orang menebang kayu tetapi tak bisa mencegah penebangan,” kata Petrus.
“Jadi sekarang kita coba selamatkan hutan kita yang masih ada. Jangan sampai kayu punah. Kita mulai dari kayu ulin kita cintai ini,” paparnya.
“Kita akan sebarkan benih ini. Kalau perlu juga di lahan sawit. Kita minta lagi hutan kita,” tegas Petrus.
Bagi warga Muara Tae, hutan bukan sekedar kayu dan sumber daya bisa dikomersialisasikan. Hutan sumber penghidupan.
Dari hutan, warga bisa menyadap karet.
Bila sakit, warga bisa mencari tanaman obat di hutan sehingga tak setiap saat kudu bergantung pada dokter.
Hutan juga memberikan air bersih serta inspirasi bagi kebudayaan.
Kini, lantaran hutan berkurang, beberapa kesulitan dirasakan.
“Beberapa tanaman sekarang sulit didapatkan. Seperti pasak bumi, sekarang sulit dicari,” ungkap Petrus.
Peluang
Maraknya pembabatan hutan, serta perebutan hutan dari masyarakat adat salah satunya dipicu pemahaman salah kepemilikan hutan.
Sebelumnya, berdasar Undang-undang No 41/1999, dimaknai hutan adat hutan milik negara, dan bisa digunakan kepentingan apa saja tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat adat.
Tahun ini, pelbagai pihak, terutama “Aliansi masyarakat Adat Nusantara” (AMAN) mengusulkan uji materi undang-undang itu.
Berdasar keputusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012, maka dinyatakan hutan adat, hutan berada di wilayah hukum masyarakat adat.
Jadi, pengelolaannya kudu juga melibatkan masyarakat adat.
Hutan adat bukan lagi hutan negara.
Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN, mengungkapkan keputusan MK tersebut peluang merebut kembali hak masyarakat adat terampas.
Salah satu kuncinya, pemetaan partisipatif.
Pemetaan dilakukan melibatkan masyarakat adat.
Penetapan batas hutan dilakukan berdasar aturan dipakai masyarakat adat berlaku turun temurun.
“Wilayah masuk hutan adat kudu dikembalikan pada masyarakat adat,” kata Abdon.
Langkah rehabilitasi hutan, kata Abdon, langkah strategis kembali merebut hutan.
Bibit-bibit ulin, dan lainnya bisa ditebar ke wilayah masuk hutan masyarakat adat, baik dimanfaatkan sawit, dan tambang maupun belum.
Abdon berharap, langkah Dayaq Benuaq bisa ditiru masyarakat adat lain di Indonesia.
Editor : Yunanto Wiji Utomo/ Kompas.com