Mencari ‘Erdogan’ Indonesia

Mencari ‘Erdogan’ Indonesia

763
0
SHARE
Tiara Sarah Putri Sumantri. (Foto: Dok Pribadi).

Kamis 26 Juli 2018 01:00 WIB
Red: Agus Yulianto

“Semangat gerakan sosial Islam Indonesia sudah terasa gairahnya dalam 4 tahun terakhir”

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Tiara Sarah Putri Sumantri *)

Tiara Sarah Putri Sumantri. (Foto: Dok Pribadi).

Kemenangan Recep Tayyib Erdogan dalam pemilihan presiden Turki 24 Juni lalu bukanlah hasil yang mengejutkan. Erdogan memang sudah menjadi sorotan dunia sejak awal kepemimpinannya sebagai perdana menteri Turki tahun 2002.

Bukan dikarenakan prestasinya dalam menumbuhkan perekonomian Turki di atas rata-rata dunia atau kemampuanya mengontrol militer Turki, melainkan oleh sejumlah aksi heroiknya atas ketidakadilan yang dialami umat Muslim.

Romantisme kejayaan Islam seketika bangkit menjadi semangat Pan Islamisme baru yang menyebar ke sejumlah negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Mesir, Maroko, Aljazair, Pakistan, Tunisia, Malaysia, Sudan, setidaknya telah megkonfirmasi seruan Erdogan dalam konstelasi politik mereka.

Tak terkecuali Indonesia, paskapilkada DKI 2017 dan pilkada serentak di sejumlah daerah lainnya pada Juni 2018 lalu, turut menegaskan misi pemilihan presiden 2019 mendatang ‘mencari Erdogan Indonesia’.

Tidak banyak yang tahu, bahwa fenomena Erdogan lahir dari sebuah proses yang panjang, konsisten, dan solid yang dilakukan oleh masyarakat Turki.

Sejak berdirinya, Turki telah menunjukkan gambaran yang khas dalam politik Dunia Islam, dimana masyarakat Muslim dikendalikan oleh sistem sekuler, dengan arahan prinsip laicism dan tak jarang menggunakan cara yang militan.

Alhasil episode-episode demokratisasi Turki memperlihatkan ketegangan tanpa henti antara masyarakat dengan negara, yang dapat diartikulasikan sebagai konflik antara gerakan sosial Islam dengan ideologi negara kemalisme.

Di bawah pembatasan dan tekanan penguasa pada periode awal republik, gerakan sosial Islam mulai hadir dalam bentuk tarikat, sebuah kelompok persaudaraan Muslim yang memusatkan kegiatannya pada pendidikan, diskusi-diskusi informal, dan fokus pada peningkatan kesadaran relijius personal.

Dengan cara ini, pembentukan masyarakat sipil dimulai dengan membangkitkan kesadaran identitas Muslim warga Turki yang sejalan dengan garis tradisi mereka.

Bertepatan dengan diperkenalkannya sistem multipartai pada 1950, gerakan ini berubah menjadi gerakan yang berorientasi pada masyarakat. Perkembangan tarikat selanjutnya kerap dipenuhi dengan aktivitas pendidikan umat Muslim.

Mulai dari pendidikan dasar Alquran hingga sains, penerbitan ribuan buku dengan beragam topik, peluncuran program pendidikan masyarakat melalui media audio maupun viual, pendirian institusi pendidikan formal maupun informal (seperti penyelenggaraan ceramah, diskusi, kajian di sekolah, masjid dan rumah warga).

Sebagai konsekuensinya, jurnalis, penulis, dan intelektual Muslim bermunculan mengisi kelas elit Muslim baru. Komunitas Muslim yang dikenal terdepan dalam kegiatan di atas ialah murid-murid Risale-I Nur, dengan jumlah pelajar diperkirakan sekitar 6 juta warga dan mendasari kegiatannya pada penafsiran Alquran oleh Said Nursi (1976-1960) .

Memasuki dekade 1970, gerakan sosial Islamis terbagi kedalam tiga medan kegiatan; (1) pendidikan (pemberian beasiswa, sekolah, asrama, perguruan tinggi dan kajian informal), (2) institusi keuangan dan bisnis (seperti ISHAD, Isik Sigorta, Asya Finans), dan (3) media massa (Zaman, STV, Aksiyon, Burc FM, CHA, dan publikasi lainnya yang diterbitkan secara berkala).

Meski media Barat kerap menyebut gerakan pada periode ini sebagai Gulen Movement, para sukarelawan dalam gerakan ini lebih memilih memaknai aktivitas mereka sebagai pelayanan sosial yang terinsipirasi oleh gagasan Fethulah Gulen.

Adalah seorang ulama intelektual Turki yang dikenal dengan interpretasi kontemporernya terhadap Islam, khususnya dalam mewacanakan hak asasi, multikulturalisme, dan demokrasi.

Sifat dari gerakan yang erat dengan kebutuhan hidup keseharian dan identitas mereka sebagai pelayan masyarakat, membuatnya jauh dari perseteruan kepentingan politik.

Dengan menyalurkan dialog, membentuk generasi terdidik, membangun ruang diskursif publik mengenai kesesuaian Islam dengan demokrasi, gerakan ini mampu memenuhi kebutuhan identitas kolektif bangsa Turki yang gagal dikonstruksi militer pada periode awal republik.

Perlahan, mereka pun bertransformasi menjadi tindakan kolektif bersama, dengan dan atas nama rakyat Turki. Narasi yang dibangun melalui gerakan ini sukses mematahkan prinsip para pendiri republik yang memahami agama sebagai ancaman terhadap modernisasi Turki. Di tengah lingkungan seperti inilah fenomena Erdogan lahir.

Dalam konteks demokratisasi Turki, kepemimpinan Erdogan menjadi istimewa sebagai satu-satunya pemimpin sipil berhaluan konservatif-religius yang dapat bertahan dari campur tangan militer hingga tiga periode kepemimpinan sebagai perdana menteri, memenangkan referendum Turki, dan berkuasa kembali selama dua periode berturut-turut sebagai presiden Turki.

Fenomena ini menjadi indikator meningkatnya tahap demokratisasi Turki melalui penguatan kontrol sipil. Dan tentu saja, dengan adanya perlawanan rakyat Turki atas upaya kudeta militer terhadap Erdogan pada 15 Juli 2016 silam turut menegaskan arah konstelasi politik yang diinginkan rakyat Turki: ‘kebangkitan Pan Islamisme Turki melalui cara yang demokratis’.

Gerakan sosial Islam sebagai penguatan civil society Indonesia

Semangat gerakan sosial Islam Indonesia memang sudah terasa gairahnya selama empat tahun terakhir. Sejak rentetan aksi bela Islam sepanjang 2016-2017, disusul semaraknya pilkada 2017-2018, sejumlah elit Muslim bermunculan memenuhi ruang diskursus publik dan kompak membangun satu narasi yang sama; kehadiran Islam sebagai poros yang patut di perhitungkan dalam mainstream politik Indonesia.

Maka, tidak heran jika antusiasme masyarakat saat dihadapkan dengan pemberitaan mengenai fenomena Erdogan, berujung pada satu harapan akan hadirnya Erdogan Indonesia pada pemilihan presiden 2019 mendatang.

Optimisme ini cukup realistis, khususnya jika melihat sejumlah persamaan yang dimiliki Indonesia dengan Turki. Pertama, sama halnya dengan Turki yang memiliki tarikat, sejak masa pergerakan, Indonesia sudah ramai bermunculan ormas yang memberi kontribusi besar akan lahirnya civil society yang kuat.

Mulai dari Serikat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Nahdlatul Wathan (NW), Front Pembela Islam (FPI), dan lainnya yang tidak hanya aktif memberikan pelayanan sosial, namun juga pendidikan politik masyarakat.

Meski hadir dengan beragam nama dan bendera yang berbeda, namun mereka hidup dalam satu napas yang sama; memperjuangkan kehidupan bermasyarakat berlandaskan nilai–nilai Islam.

Kedua, menyangkut aktivitas gerakan. Meski berpenduduk mayoritas Muslim, Turki dan Indonesia menyepakati tidak menggunakan Islam sebagai ideologi negara. Namun, tatanan masyarakat sipil yang kuat justru dibentuk melalui sejumlah aktivitas religius masyarakat kedua negara.

Sebagaimana Turki memiliki Risale- I Nur dan Gulen Movement, Indonesia memiliki suau trend serupa, mulai dari Program Kampung Qur’an Darul Qur’an yang dibina Ustad Yusuf Mansur, pendidikan formal berbasis agama baik yang berbentuk sekolah umum maupun pesantren yang berdiri di bawah naungan ormas Islam Muhamamdiyah, majelis taklim dan majelis zikir sebagaimana diselenggarakan NU, hingga rumah tahfiz, diskusi dan kajian informal yang kini menjamur tidak hanya di kalangan ibu rumah tangga, namun juga kalangan pemuda.

Tidak kalah pentingnya, sejumlah penerbit hadir dan aktif menyuguhkan beragam literatur yang tidak hanya berkutat pada persoalan aqidah dan fiqih, namun juga sains, ilmu sosial politik dan humaniora.

Berbagai kegiatan religius saat ini berupaya menyatu dengan budaya dan kearifan lokal, serta menyebarkan benih–benih Erdogan Indonesia di penjuru negeri.

Namun perlu ditekankan, sebagaimaan halnya gerakan yang menggunakan platform Islam, sangat diperlukan komitmen dan konsistesi dari peserta gerakan untuk mendasari gerakan tersebut pada Alquran, sumber hukum teragung dan inspirasi tertinggi umat Islam.

Hal ini diperlukan bukan hanya untuk menjaga kemurnian gerakan sebagai pelayan masyarakat, namun juga menghindarkannya dari motif oportunis sejumlah elit yang menyalahgunakan gerakan sebagai komoditas politik semata.

Setidaknya, kita telah mendapatkan gambaran jelas dari Turki alasan dibalik lahirnya fenomena Erdogan. Tanpa masyarakat sipil yang kritis, peduli antar sesama, saling berbagi dan mencintai lingkungan, bisa dipastikan tidak akan pernah muncul Erdogan.

Dan jika disandingkan dengan perjalanan serta pencapaian gerakan sosial Islam Turki, rasanya masih terlalu dini untuk berharap benih-benih Erdogan Indonesia dapat dituai pada pemilihan presiden 2019 mendatang.

*) Co-Founder Student Business Sharing Community (SBSC) Indonesia, pemerhati masalah gerakan Islam dan politik Timur Tengah, alumni Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, penulis buku Hubungan Sipil-Militer Turki.

******

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY