Jumat , 16 June 2017, 16:00 WIB
Red: Agung Sasongko
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Alquran adalah simbol pesan langit. Membumikan pesan langit bagian dari jihad, ijtihad, dan mujahadah. Tak seorang pun mengingkari bahwa Alquran adalah serangkaian pesan yang kaya dengan ajaran moral-spiritual. Alquran menyimpulkan kitab-kitab suci Tuhan yang pernah turun sebelumnya. Inti ajaran semua kitab samawi ialah mendukung gagasan besar agama lagit yang biasa disebut dengan aldin al-samawi.
Agama yang kitab sucinya diturunkan dari langit ke bumi dalam dua proses penurunan, yang dikenal dengan cara al-inzal dan al-tanzil. Sebagai agama langit yang diturunkan ke bumi untuk dijadikan petunjuk kepada manusia sebagai sasaran agama tersebut, sudah barang tentu melalui proses tawar-menawar antara sang subjek (agama) dan sang objek (manusia). Pembumian ajaran sesungguhnya adalah bagian dari rahmat Tuhan untuk melangitkan kembali manusia.
Manusia yang diciptakan dengan seperangkat kecerdasannya dibekali dengan sikap kritis untuk mempertahankan eksistensi dirinya, termasuk bersikap kritis terhadap ajaran-ajaran agama langit itu. Istimewanya ialah Allah SWT memahami kenyataan ini. Buktinya, setiap kitab suci-Nya diturunkan dengan cara berangsur-angsur (tadrij), menyedikitkan beban (taq lil al-taklif), dan mengeliminasi ke sulitan (‘adam al-haraj).
Ini membuktikan bahwa agama langit turun ke bumi mengalami proses “pembumian”. Allah SWT yang memiliki kekuatan kun fa ya kun tidak serentak ajaran agama- Nya dipaksakan kepada hamba- Nya yang sangat dhaif. Padahal, tak satu pun hambanya yang bisa menolak seluruh ajaran agama-Nya jika ia menghendaki-Nya. Ini bukan berarti Tuhan mengalah terhadap manusia, tetapi menjadi bukti betapa Tuhan memanusiakan manusia.
Di dalam membumikan ajaran agama Tuhan mengandung konsekuensi bahwa manusia pada satu sisi memiliki potensi, otoritas, dan kapasitas tertentu yang juga semuanya berasal dari-Nya. Namun, sisi lain manusia memiliki kekurangan yang prinsip, sehingga mereka memerlukan bimbingan agar tidak jatuh terjerumus dengan kelemahan fundamental yang melekat pada dirinya.
Manusia dalam pandangan Islam bukan antroposentris, yang serba manusia, bukan juga teosentris, yang serba Tuhan. Akan tetapi manusia menurut Prof. S.H. Nasr sebagai teomorfis, yaitu makhluk yang memiliki berbagai kelebihan tetapi memiliki kelemahan melekat pada dirinya, sehingga masih tetap membutuhkan petunjuk Tuhan. Karena itu, diturunkan kepadanya wahyu (Kitab) dan para Nabi untuk menjelaskan sekaligus mencontohkan pengamalan bagaimana petunjuk itu dilaksanakan.
Manusia tidaklah sepantasnya memaksakan kehendak agar manusia lain mengikuti petunjuk-Nya. Allah SWT tidak melakukannya dan para Nabi-Nya pun tidak melaku kannya. Bahkan, Allah SWT menegaskan: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Qashash [28]:56).
Dalam ayat lain, Allah SWT menyindir orang-orang yang melampaui kapasitasnya, mau memaksakan keinginannya untuk dan atas nama agama: “Dan jikalau Tuhan mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Q.S. Yu nus[10]:99).
Namun perlu diingat bahwa, siapa pun tidak boleh berlindung dengan jargon “membumikan agama” untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau melakukan penafsiran secara liberal kitab suci hingga keluar jauh meninggalkan inti ajaran agama. Harus kita ingat bahwa pembumian agama untuk melangitkan kembali manusia setelah jatuh dalam drama kosmos, yang dilakukan oleh nenek moyang kita, Adam dan Hawa. Allahu a’lam. n
Prof Dr Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah