Membendung Merkuri

Membendung Merkuri

942
0
SHARE
Ilustrasi Penambangan.

Fotografer : John Doddy Hidayat

Garut News ( Sabtu, 11/07 – 2017 ).

Ilustrasi Penambangan.
Ilustrasi Penambangan.

Pengetahuan tentang racun merkuri seharusnya bukan ilmu selik-melik. Tapi, dalam prakteknya, pencegahan pemakaiannya dalam penambangan emas, terutama yang berskala kecil dan perorangan, seakan-akan rumit amat. Penggunaannya yang masih luas jelas menimbulkan ancaman keracunan parah, yang bisa berdampak pada keturunan orang yang terpapar–jika mereka bertahan hidup.

Sebuah penelitian lapangan di Sekotong, Lombok Barat, dan Poboya, Sulawesi Tengah, menunjukkan kandungan merkuri pada tubuh penduduk setempat melampaui batas maksimum 0,58 ppm, mencapai 0,82 dan 13,3 ppm. Bisa disimpulkan, penduduk setempat yang menambang emas di belakang rumah mereka berpotensi menderita penyakit saraf dan menurunkan merkuri kepada anak-anak mereka.

Penduduk di dua tempat itu memang menambang menggunakan merkuri. Sebagaimana di wilayah dan negara lain, pada penambangan berskala kecil dan perorangan, merkuri merupakan bahan yang mempermudah pemisahan emas dari bahan lain. Dengan merkuri pula biaya operasional bisa ditekan. Tak mengherankan bila di seluruh dunia permintaan terbesar merkuri berasal dari penambangan berskala kecil dan perorangan.

Pada saat yang sama, emisi merkuri yang dihasilkannya terhitung besar, yakni 11 persen dari total sumber merkuri produksi manusia–merupakan setengah dari jumlah seluruh merkuri yang dilepaskan ke lingkungan. Di Indonesia, penambangan emas berskala kecil malah menjadi sumber terbesar (57 persen) pencemaran merkuri.

Karena pencemaran semacam itulah, juga mengingat kandungan racunnya yang merusak, ada upaya di tingkat internasional untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan merkuri di berbagai kegiatan ekonomi.

Pada 2013, setelah melalui perundingan tiga tahun, disepakatilah Konvensi Minamata–nama yang digunakan sebagai pengingat bencana keracunan merkuri di kota di Jepang itu. Konvensi Minamata bertujuan mengurangi dan menghentikan penggunaan merkuri pada beberapa produk dan proses pada 2020.

Juga mengurangi pasokan dan mengendalikan perdagangan merkuri di seluruh dunia. Dalam prakteknya, konvensi ini sebatas indah di atas kertas. Belum semua negara meratifikasinya. Indonesia, satu di antara 100 lebih penanda tangan konvensi, termasuk di antara negara-negara itu.

Sementara ratifikasi Konvensi Minamata masih perlu waktu, Indonesia sebetulnya punya sekurang-kurangnya dua peraturan yang bisa digunakan untuk mencegah kerusakan akibat pemakaian merkuri. Selain Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada Peraturan Menteri Perdagangan tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

Di beberapa tempat, misalnya di Aceh, dua tahun lalu, ada kasus penjualan dan pencemaran merkuri yang oleh polisi ditindak dengan aturan-aturan itu.

Seraya memastikan pencegahan dan penindakan, harus dicari upaya baru penambangan berskala kecil tanpa merkuri dan memberikan pelayanan medis bagi mereka yang telanjur terpapar.

********

Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY