Memahami Moderasi

Memahami Moderasi

1034
0
SHARE
Imam Shamsi Ali

Sabtu , 06 May 2017, 00:10 WIB

Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Imam Shamsi Ali *) 

Imam Shamsi Ali
Imam Besar Masjid New York Shamsi Ali  (Republika/Tahta Aidilla).

Istilah moderasi, dan lawan katanya ekstremisme dan radikalisme, sejak beberapa tahun terakhir menjadi sangat populer. Saking pepolernya di hampir semua pidato pemimpin negara, termasuk pidato Raja Salman di gedung MPR RI, juga mengulangi kata-kata itu berkali-kali. Tidak luput tentunya hampir di semua pidato kampanye maupun debat capres AS ketika itu selalu menyebut-nyebut kata moderasi dan lawan katanya ekstremisme atau radikalisme.

Dari zaman Bush, Obama, hingga eranya Presiden Trump sekarang ini, kata ini, masih menjadi objek yang menarik dan menyenangkan banyak pihak. Bagaimana tidak menarik dan menyenangkan. Kata ini bisa mengangkat atau sebaliknya menurunkan dukungan bagi sebagian pemburu kekuasaan.

Tapi apakah moderasi itu?

Sebelum saya menjelaskan makna moderasi, saya ingin menyampaikan dialog tanpa sengaja dengan seorang non Muslim dalam perjalanan dari rumah ke kota. Saat itu, kebetulan kereta bawah tanah lagi sepi, dan tiba-tiba orang itu bertanya ke saya: “where are from”?

Setelah saya jawab: “I am from Indonesia” dia mengubah bahasanya dari Inggris ke Indonesia terbata-bata. “Oh bagus. Saya pernah pergi ke Indnesia”.

Tentu saya senang dan bangga. Karena seringkali orang di Amerika lupa Indonesia di saat berbicara kunjungannya berlibur ke Indonesia. Rata-rata yang diingat adalah Bali.

“So do you like Indonesia”? tanya saya.

“Iyaaa…saya suka”, jawabnya masih dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Entah apa di benaknya tiba-tiba bertanya tentang agama. Hal ini sesungguhnya rada-rada asing di Amerika. Agama dianggap urusan pribadi dan tidak perlu diumumkan, apalagi ditanyakan.

“So are you a Muslim”? tanyanya.

Mungkin karena saya merasakan kedekatan dalam waktu singkat itu, apalagi orangnya memang cukup ramah, saya spontan menjawab: “yes of course”.

Dia kemudian agak serius, lalu bertanya: “What kind of Islam do you follow? It is a radical or moderate one”?

Entah karena saya tersinggung atau karena sensitifitas saya, saya balik bertanya: “are you a Christian? Moderate of radical Christianity?”.

Orang itu melihat ke saya, walau berusaha tersenyum, tapi tampak di wajahnya ketidaksenangannya dengan pertanyaan itu. Dia kemudian menjawab: “Christianity i assume is a moderate religion”.

Saya kemudian mengatakan: “all religions are inherently moderate. It is the followers who pull it into radical view and behaviors”.

Saya kemudian melanjutkan: “as in the Christian community you have people such as KKK, or those who blew some clinics as they disagree with their practices, we have such also in our community. Muslims hate others simply because of their faiths, are no less than those of KKK in Christianity”.

Saya lalu ingin tahu apa defenisi dia tentang “moderasi dan radikalisme”?

Mendengar pertanyaan saya itu dia hanya diam. Tapi mungkin karena terlanjur memulai percakapakan itu dia menjelaskan: “moderate are those who live their lives as any one else. Dress as others, partying as others, eating and drinking as others, marrying as others”.

Intinya dia ingin mengatakan bahwa untuk disebut moderate, seseorang harus melakukan apa saja semua orang lakukan. Walau dia tidak merincikan, tapi moderasi bagi dia adalah jangan dibatasi lagi oleh batasan-batasan aturan agama Anda. Seolah kalau shalat, puasa, haji, memakai pakaian yang diatur agama itu ekstrim. Sebaliknya, minum alkohol, pergaulan bebas, ikut pesta di bar-bar, dan semua yang dilakukan oleh orang yang tidak diikat atutan agama itulah moderasi.

Mendengar itu saya kemudian teringat banyak peristiwa yang terjadi di dunia ini. Saya diingatkan betapa memang ada orang-orang yang berusaha menampakkan agama itu, tidak saja Islam tapi semua agama, sebagai lawan dari kebebasan. Dan karenanya, menjalankannya adalah bentuk radikalisme yang melawan kebebasan manusia.

Saya juga diingatkan ketika banyak pemimpin dunia, termasuk dunia Islam, mempropagandakan perlunya moderasi. Tapi, ternyata benak terdalam para politisi dan pemimpin dunia itu moderasi dimaknai sebagai enteng saja dengan nilai-nilai dan ajaran agama.

Karena, ketika nilai dan ajaran agama ditegakkan, borok banyak pemimpin itu akan semakin tersingkap. Maklum, agama itu ruhnya adalah “mendukung kebenaran dan keadilan, dan melawan kebatilan dan kezaliman”. Inilah yang ditakutkan oleh banyak pemimpin sehingga moderasi, sebagai kata lain dari tidak peduli dengan agama, dipropagandakan.

Sebagian pemimpin agama juga, khususnya di agama Islam, menghendaki hal yang sama. Kata moderasi seringkali dipakai sebagai senjata untuk menyerang sesama untuk tujuan yang satu. Yaitu menekan kelompok lain dalam komunitasnya sendiri agar tetap lemah, marginalized, dan dicurigai. Dengan demikian, hanya kelompoknya sendiri yang dianggap dan dijadikan rujukan oleh penguasa dan mereka yang punya kepentingan. Jika digali lebih jauh, ujung-ujungnya juga demi keuangan yang maha kuat.

Intinya adalah banyak orang yang mendefenisikan agama dengan “meremehkan” bahkan “merendahkan” agama. Itulah yang menjadikan sebagian dengan entengnya bersikap biasa saja kepada “pelecehan” agama. Tidak jarang bahkan mendukung mereka yang menoda agama. Karena memang bagi mereka agama dan moderasi dalam beragama berarti menghindarkan aturan-aturan agama.

Sebaliknya, mereka memiliki komitmen dengan ajaran agama, menjalankan agama sesuai keyakinan dan ajarannya, cenderung dianggap tidak moderate alias ekstrim. Apalagi, tentunya mereka yang karena keyakinannya “membela” agamanya.

Islam itu moderate

Sesungguhnya ketika menyebut Islam, maka bagi seorang yang paham tentang agama ini secara otomatis akan memahaminya sebagai petunjuk hidup moderate. Moderate dalam arti “imbang” dan tidak melampaui batas-batas kealamiaan kemanusiaan. Dalam segala aspek ajarannya Islam itu berkarakter “imbang” (moderate).

Perhatikan misalnya aspek ketuhanan dalam Islam. Di satu sisi Tuhan digambarkan dengan beberapa penggambaran “khalqi” (ciptaan), misalnya dengan karakter melihat, mendengar, punya tangan, marah, senang (ridho), dan seterusnya. Namun, di sisi lain, juga semua yang memungkinkan Tuhan untuk diasosiasikan dengan makhluk tertutup rapat. Tuhan adalah “Ahad” (unik) yang “lam yakun lahu kufuwan ahad” (tiada yang mirip dengannya). Bahkan penggambaran Tuhan dengan makhluk apa saja salah dan dilarang.

Perhatikan ibadah-ibadah dalam Islam. Jangan lakukan hingga melampuai kapasitas Anda. “Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya” (Al-Baqarah). Pesan Rasulullah SAW: “agama itu mudah”. Oleh karenanya, jangan dilebih-lebihkan dan dipersulit. Bahkan ketika di hadapan Rasulullah ada dua pilihan, beliau selalu memilih yang termudah.

Mungkin yang menyimpulkan semua itu adalah perintah menjaga “tawazun” (keseimbangan) dalam Alquran. “Dan langit Allah tinggikan dan timbangan diletakkan. Agar kamu jangan melampaui timbangan (keseimbangan)” (Ar-Rahman).

Hadis Rasulullah bahkan mengingatkan: “berhati-hatilah dengan al-ghuluw (ekstremisme). Karena ektremisme membawamu kepada kehancuran (at-tahlukah).

***** Dari semua ini, saya menyimpulkan bahwa moderasi itu adalah komitmen kepada agama apa adanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Agama dilakukan dengan penuh komitmen, dengan mempertimbangkan hak-hak vertikal (ubudiyah) dan hak-hak horizontal (ihsan).

Dilemanya memang ketika manusia tidak jujur dalam mendefenisikan modarasi. Atau sebaliknya ketika kata “radikalisme” menjadi santapan kepentingan sesaat, termasuk politik. Lalu moderasi atau sebaliknya radikalisme ditujukan kepada “kepentingan” masing-masing.

Banyak orang yang melihat biarawati itu moderate dalam beragama. Tapi, ketika melihat wanita Muslimah menolak membuka aurat di umum, dengan mudah dituduh “ekstrim”. Banyak orang yang tidak peduli dengan Yahudi orthodox dengan janggutnya. Atau Kristen orthodox dengan jubah dan sorbannya. Tapi, ketika seorang Muslim berjanggut lanjang dan berjubah boleh jadi itu adalah perilaku ekstrim.

Oleh karenanya, saya khawatir, jika pengistilahan ini bagi banyak orang tidak lebih dari sebuah alat untuk kepentingan yang lebih besar. Persis ketika oposisi di Suriah dituduh radikal dan teroris. Atau ketika Ikhwanul Muslimun dengan mudah dilabeli oleh Presiden Sisi sebagai gerakan radikal dan teroris.

Indonesia harusnya berkaca. Bahwa kemerdekaan negara ini tidak lepas dari komitmen bergama para pejuang terdahulu. Ingat gema takbir Bung Tomo. Ingat komitmen zikirnya Jenderal Sudirman. Ingat akidah KH Agus Salim yang tidak penah goyah. Demikian semua pejuang yang dengan airmata dan darah mereka kita menikmati kemerdekaan saat ini.

Maka menuduh umat yang komitmen agama sebagai radikal adalah kegagalan total dalam memahami sejarah perjuangan, sekaligus kegagalan total dalam mengapresiasi perjuangan pendahulu bangsa.

Akhirnya saya inginkan meyakinkan kita semua bahwa hanya dengan pemahaman sekaligus praktik yang benar agama akan membawa kepada kebajikan umum. Jika ada pengakuan beragama tapi membawa kemudhoratan, termasuk kebencian dan permusuhan, maka itu bukan Islam yang sesungguhnya. Demikian sebaliknya, pengakuan Islam seraya menginjak-injak dan merendahkan ajarannya, juga bukan Islam yang sesungguhnya. Itulah kemunafikan atas nama moderasi. Wal’iyadzu billah!

New York, 4 April 2017

* Presiden Nusantara Foundation

***********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY