Bandung, Garut News ( Ahad, 13/04 – 2014 ).
Sekitar 200 peserta, Jumat (11/04-2014) sore, memenuhi Auditorium Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, mengikuti diskusi dan bedah buku Seri Ekspedisi Cincin Api Kompas.
Buku berjudul Toba Mengubah Dunia itu, ditulis Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas segmen Toba, Ahmad Arif, Amir Sodikin, Indira Permanasari, dan M Hilmi Faiq.
Diskusi, dan bedah buku tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dr Surono, Peneliti Museum Geologi Bandung Dr Indyo Pratomo, dan Ahmad Arif salah seorang penulis buku.
Kegiatan itu, diorganisasi para mahasiswa di Bandung bergabung komunitas media sosial Twitter dengan akun @komunitaskampus, serta terselenggara dukungan Museum Geologi Bandung, dan Penerbit Buku Kompas.
Indyo, pada paparannya, menyebutkan ekspedisi dilakukan semacam ini, dan melibatkan jurnalis belum pernah dilakukan sebelumnya.
Itu ditambah fakta Toba, sebagai supervolcano (gunung api super bisa memuntahkan minimal 300 kilometer kubik magma ketika meletus) belum banyak ditulis, dan dikenal masyarakat.
Publikasi ilmiah mengenai Toba juga belum pernah dihasilkan ilmuwan Indonesia.
Padahal, tambah Indyo, letusan Toba sekitar 74.000 tahun lalu menjadi semacam simbol dunia, peristiwa erupsi supervolcano.
Ini menyusul fakta tak kurang 2.800 km3 material vulkanik dimuntahkan Toba ketika itu.
Hasilnya, danau vulkanik paling besar di dunia, yakni Danau Toba.
Ukurannya 90 x 30 kilometer persegi.
Dalamnya mencapai 500 meter, menjadikannya sebagai lokasi penyimpan air tawar terbesar di dunia dengan volume sekitar 240 kilometer kubik.
“Keunikan lain keberadaan pulau di atas pulau dan danau di atas danau, yakni Pulau Samosir berada di atas Pulau Sumatera, serta Danau Sidihoni dan Danau Aek Natonang berada di atas Danau Toba,” sebut Indyo.
Letusan supervolcano Toba juga pernah membuat dunia “gelap” lantaran badai vulkanik, dan konsentrasi aerosol sulfat di atmosfer menghalangi sinar matahari sebagai asupan utama kehidupan di bumi.
Saat itu populasi manusia diperkirakan menyusut hingga sekitar 60 persen menyusul gangguan pada mata rantai makanan.
Indyo menilai, ekspedisi tersebut sangat penting, dan menuliskannya menjadi buku, sumbangan bagi masyarakat serta ilmu geologi.
“Pengalaman berharga bagi saya menemani Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas pada 2011 mengelilingi Toba,” kata Indyo.
Gunungapi terbanyak
Dr Surono mengatakan, penduduk Indonesia mestinya tak kaget dengan gunungapi meletus.
“Bahkan untuk Toba dikenal, supervolcano,” katanya.
Menurut Surono, dikarenakan fakta Indonesia rumah bagi gunungapi dunia.
Jumlah gunungapi di Indonesia, sebanyak 127 gunungapi aktif, memastikan predikat negara berjumlah gunungapi paling banyak di dunia.
“Sebagian di antaranya pernah meletus hebat, seperti masih kita kenal, seperti Gunung Tambora, Krakatau, Samalas (Rinjani), dan Toba,” kata Surono.
Karena itu, Surono menambahkan, riset terkait fakta itu penting dilakukan serta dipublikasikan terus-menerus.
Ini penting, ketimbang membiarkan masyarakat hidup dengan ketakutan-ketakutan dibangun tanpa landasan ilmiah.
Taman bumi
Arif mengatakan, salah satu tujuan dilakukan ekspedisi tersebut, merangsang pihak-pihak lain melakukan, dan melanjutkan ekspedisi ilmiah seperti Ekspedisi Cincin Api Kompas.
“Termasuk menggugah kalangan peneliti melakukan ekspedisi serupa,” sebutnya.
Buku Seri Ekspedisi Cincin Api Kompas berjudul Toba Mengubah Dunia terdiri enam bagian pembahasan.
Masing-masing Prolog, Dongeng Toba, Jejak Kedahsyatan, Dampak Kehancuran, Skenario Mendatang, dan Perjalanan.
Pada bagian “Perjalanan” diulas kemungkinan menjadikan Toba sebagai taman bumi (geopark) sesuai konsep dikembangkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Ulasan itu, mengenai kemungkinan menerapkan terlebih dahulu konsep geowisata, alih-alih geopark jika dirasa masih terhadang sejumlah kendala infrastuktur.
Diskusi, dan bedah buku tersebut juga menampilkan foto-foto 360 derajat Ekspedisi Cincin Api Kompas.
Foto-foto dengan pendekatan baru itu, ditampilkan jurnalis foto Kompas.com Fikria Hidayat.
Koordinator pengorganisasi acara Sekar Kanthi Nayenggita mengatakan, bagi mahasiswa dan masyarakat umum, diskusi tersebut membawa pada pengetahuan baru.
“Mungkin selanjutnya perlu lebih didekatkan pada masyarakat umum dan lebih aplikatif.Juga agar lebih menjelaskan pada masyarakat umum tentang hal-hal teknis dalam ilmu geologi,” sebutnya.
Penulis | : Ingki Rinaldi |
Editor | : Fikria Hidayat/ Kompas.com |