Atmakusumah, Pengamat pers
Jakarta, Garut News ( Selasa, 26/11 ).
Identitas pengemudi mobil berusia 13 tahun, yang menyebabkan tujuh orang tewas dan delapan orang lainnya luka-luka dalam suatu tabrakan, akhirnya mendapat perlindungan, setidaknya dari media pers arus utama (mainstream) di Jakarta.
Perlindungan ini sebenarnya sudah terlambat karena pada mulanya pemberitaan pers menyiarkan nama lengkapnya bersama nama lengkap ayah dan ibunya.
Namun, sekarang surat kabar Kompas hanya mencantumkan inisial AQJ, dan majalah Tempo malah lebih menyamarkannya dengan memberikan nama samaran Aki (tapi pada edisi berikutnya berganti dengan inisial AQJ).
Memang, peristiwa ini hanyalah kecelakaan, yang walaupun berat tapi bukan kejahatan sebagaimana diatur dalam kode etik jurnalistik (KEJ tahun 2006), yang sekarang berlaku secara nasional di Indonesia.
Pasal 5 KEJ menyatakan: “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”
Dalam penafsiran pasal itu dijelaskan: “a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Dan, b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.”
Walaupun peristiwa kecelakaan dalam kasus tabrakan mobil itu bukan kejahatan, dampak psikologisnya bisa jadi sama terhadap subyek berita yang masih kanak-kanak atau remaja.
Pertama, pemberitaan terbuka tentang peristiwa ini dapat mempengaruhi reputasi subyek berita pada masa dewasa kelak, padahal kejadian itu berlangsung pada masa ia belum dianggap memiliki tanggung jawab sepenuhnya.
Kedua, pemberitaan terbuka dengan mengungkapkan identitas subyek berita dapat menambah trauma anak tersebut.
Inilah dua alasan yang melatarbelakangi pendapat agar identitas subyek berita sebagai pelaku tindak pidana yang masih kanak-kanak, dan remaja tidak terungkap dalam pemberitaan pers.
Selain nama lengkap dan foto atau gambar subyek berita, identitas meliputi alamat rumah dan alamat kantor bila ia sudah bekerja.
Nama orang tua dan anggota keluarga dekat lainnya juga sebaiknya tidak diungkapkan dalam pemberitaan jika akan memudahkan publik dalam melacak subyek berita.
Identitas juga terdiri atas inisial nama bila publik masih mungkin untuk melacak pemilik inisial itu.
Dengan demikian, pengendara yang terlibat dalam kasus tabrakan mobil yang menelan korban lazimnya paling-paling hanya dapat digambarkan dalam pemberitaan pers sebagai “pengemudi mobil berusia 13 tahun, anak musikus terkemuka.”
Atau, menyamarkan namanya seperti yang dilakukan majalah Tempo.
Meski demikian, identitas anak-anak dan remaja yang belum dewasa, seperti dalam peristiwa yang dialami oleh Aki atau AQJ, tidak selamanya dapat dilindungi seluruhnya ketika ia berasal dari lingkungan keluarga yang terkemuka atau terkenal.
Mereka termasuk kalangan selebritas, pengusaha besar, dan pejabat tinggi, yang dianggap memiliki tanggung jawab sosial yang besar, sehingga kehidupannya diharapkan dapat menjadi sumber teladan.
Sudah menjadi konvensi yang berlaku universal di kalangan para pengelola media pers bahwa pemberitaan mengenai warga terkemuka atau terkenal dapat menyangkut persoalan pribadi atau privasi tokoh tersebut.
Jadi, pemberitaan tentang mereka bisa lebih luas dan lebih terbuka daripada mengenai warga biasa.
Arnold Zeitlin, mantan kepala biro kantor berita United Press International (UPI) di beberapa ibu kota negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, menganggap pemberitaan tentang peristiwa seperti yang dialami oleh Aki atau AQJ sebagai masalah yang tricky.
Artinya, pers tidak selamanya mudah untuk sepenuhnya memenuhi kode etik jurnalistik karena subyek berita adalah anak seorang tokoh publik (public figure).
Karena itu, tidak semua pers akan “menyembunyikan” identitas, baik subyek berita itu sendiri maupun orang tuanya.
Nama orang tua subyek berita, sebagai tokoh publik, akan sulit dihindari ketika pers dan publik mempertanyakan, mengapa pengemudi yang masih kanak-kanak dibiarkan mengemudikan mobil di tempat umum.
“Ketika mencoba menjawab pertanyaan demikian, yang jelas akan muncul dari pers, identitas orang tua dan anaknya tidak dapat dihindari,” kata Arnold Zeitlin.
Pelanggaran kode etik jurnalistik dalam pemberitaan tentang pelaku tindak pidana yang masih kanak-kanak dan remaja sering terjadi dalam pers kita.
Banyak pula media pers yang memuat atau menyiarkan foto mereka.
Masyarakat di negeri kita, dan malah juga para pejabat pemerintah, ada kalanya bersikap emosional dalam menghadapi peristiwa tidak menyenangkan yang terjadi di lingkungannya, antara lain dengan tidak membolehkan pelaku tindak pidana kanak-kanak dan remaja melanjutkan pendidikan di sekolah.
Sikap “menghukum” seperti ini lebih-lebih lagi dapat timbul jika peristiwa itu menjadi pembicaraan ramai secara negatif dalam masyarakat dan pemberitaan pers.
Karena itu, akan sangat bijaksana apabila pers sejauh mungkin melindungi identitas kanak-kanak dan remaja yang disangka terlibat dalam kriminalitas agar mereka tidak semakin traumatis.
**** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co