Masihkah Debat Capres Layak Tonton?

Masihkah Debat Capres Layak Tonton?

697
0
SHARE
Pasangan Peserta Pilpres 2014, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla saling menyapa sebelum Debat Capres-Cawapres di Jakarta, Senin (9/6).(Republika/Edwin Dwi Putranto)

Jumat 11 Jan 2019 06:45 WIB
Red: Muhammad Subarkah

Pasangan Peserta Pilpres 2014, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla saling menyapa sebelum Debat Capres-Cawapres di Jakarta, Senin (9/6).(Republika/Edwin Dwi Putranto).

“Debat pilpres masih menarik, karena masih mungkin ada kejutan yang akan terjadi”

Oleh: Akhmad Danial, Dosen UIN Jakarta

Sama seperti Rocky Gerung, saya ingin melihat acara debat calon presiden perdana tanggal 17 Januari nanti sebagai sebuah pertunjukan televisi (TV Show). Sebagaimana analogi Rocky bahwa dirinya ingin melihat debat Capres laiknya sebuah pertandingan tinju dimana salah seorangnya terkapar KO, saya juga mendamba keseruan pertunjukan politik serupa dengan itu.

Karenanya, saya cukup kecewa juga dengan kabar bahwa KPU akan memberitahukan pertanyaan-pertanyaan debat Capres kepada dua Paslon, pada tanggal 10 Januari ini. Kalau formatnya seperti itu, unsur kejutan bagi kedua Paslon akan hilang dan itu menghilangkan sifat dramatik dari pertunjukan bernama Debat Capres.

Saya merasa akan kehilangan kesempatan untuk melihat Paslon yang terlihat “bodoh” karena mendapatkan pertanyaan tak terduga. Untungnya, saya sekantor dengan salah seorang panelis debat Capres perdana yang mengambil topik Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme yaitu pakar tatanegara Margarito Kamis.

Saat saya bertemu dengannya pada Selasa (8/1) lalu, saya mengambil kesempatan untuk memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan. Setelah percakapan itu terjadi, kecemasan soal kehllangan efek dramatis acara itu langsung berkurang. Loh kok? Begini ceritanya.

Peran Panelis

Saya mengawali percakapan dengan ucapan selamat setengah meledek, “Widdih, panelis debat Capres. Selamat yaa”. Dia nyengir saja dan mengatakan bahwa tugasnya sebagai panelis sudah dia selesaikan Sabtu (5/1) lalu dalam satu rapat para panelis di sebuah hotel.

Dalam rapat itu, para panelis sudah menyelesaikan 20 pertanyaan yang dimintakan KPU untuk acara debat. Jadi, tugas panelis, hanyalah membuat semacam “bank soal” sebagai materi debat Capres. Bank soal itulah yang kemudian disampaikan KPU kepada para Paslon pada hari Kamis (10/1) ini, atau kurang sepekan dari acara debat itu sendiri.

Jumlah pertanyaan yang diserahkan untuk debat perdana nanti, menurut Margarito, ada 20 soal dengan penjelasan, untuk 4 tema, masing-masing dibuatkan 5 soal. “Jadi, kami panelis berenam, bagi tugas saja untuk membuat soal di masing-masing tema,” kata Margarito.

Sebagaimana diketahui, untuk debat Capres perdana, panelisnya ada enam yaitu mantan Ketua MA, Prof. Baqir Manan, Ketua KPK, Agus Rahardjo, pakar hukum UI Prof. Hikmahanto Juhana, Ahli Tatanegara Bivitri Susanti, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan Margarito sendiri selaku ahli Tatanegara.

Saya yang agak telat mikir tentang peran panelis karena terlalu fokus pada soal pembocoran soal yang sedang ramai dibicarakan kemudian berkata kepadanya, “Ya, tapi abang harus agak hati-hati juga sebagai panelis karena salah satu Paslon adalah seorang Kyai. Kalau abang terlalu memcecarnya sehingga beliau tampak bodoh, resiko juga.” Margarito langsung menyela bahwa dia tidak bisa mendebat Paslon karena itu bukan bagian tugas panelis. Lho?

Margarito menjelaskan, format debat Capres 2019 berbeda dengan format Capres 2014. Dalam debat Capres di Pilpres sebelumnya, penelis mengajukan pertanyaan, lantas setelah dijawab, diberi kesempatan mendalaminya lagi.

Dalam Debat Capres 2019, peran panelis terhenti pada pembuatan soal, setelah itu mereka tidak ada perannya lagi. “Saya bisa hadir di debat atau memilih tidak hadir. Kalaupun hadir, tidak ada kesempatan untuk bertanya,” jelasnya. Lho lagi.

Enam Segmen

Sebelum lanjut pada penjelasan Margarito, perlu diketahui bahwa Debat Capres 2019, sejauh yang saya tangkap dari penjelasan banyak pihak terutama KPU, terdiri dari enam segmen.

Segmen 1 adalah pemaparan visi dan misi dari masing-masing Paslon. Segmen 2 dan 3 yang masing-masingnya terdiri dari dua bagian berisi pertanyaan TERBUKA (pertanyaan yang sudah “dibocorkan” KPU) dan jawaban dari kedua Paslon. Dalam segmen 4 dan 5, masing-masing Paslon bertanya pada Paslon lawan terkait 4 tema yang dibahas dan segmen 6 berisi closing statement.

Margarito menjelaskan, nantinya, akan ada 4 box berisi kertas pertanyaan yang terkait dengan 4 tema. Di masing-masing box pertanyaan tematik itu terdapat 5 pertanyaan.

Jadi total ada 20 pertanyaan untuk 4 box itu yaitu 5 pertanyaan di box pertanyaan tentang hukum, 5 pertanyaan di box pertanyaaan tentang HAM, 5 pertanyaan di box pertanyaan tentang korupsi dan 5 pertanyaan di box pertanyaan tentang terorisme.

Saat debat memasuki segmen ke 2 dan 3, moderator akan mengambil satu pertanyaan dari setiap box untuk kemudian menanyakan “pertanyaan terpilih” pada kedua Paslon.

Disinilah menurut Margarito, “unsur kejutannya”.

Meski kedua Paslon sudah memiliki “kunci jawaban” dari 20 “pertanyaan terbuka” yang diberikan oleh KPU, namun tidak ada yang bisa menduga pertanyaan mana yang akan “terambil” oleh moderator dari dalam box pertanyaan tematik.

Pertunjukan lebih seru akan terjadi juga pada segmen 4 dan 5, ketika masing-masing Paslon mengajukan pertanyaan pada lawannya. Pihak yang ditanya, tidak akan bisa menduga pertanyaan apa yang akan diajukan oleh pihak lawan. Jadi di situ unsur kejutannya dan inilah ajang “pembantaian” dalam debat yang bisa digunakan untuk menghantam KO lawan.

Saya lupa menanyakan pada Margarito, apakah pertanyaan yang diajukan Paslon ke lawannya bersifat bebas saja sejauh menyangkut empat topik, atau “dikurung” terbatas sebagai pendalaman dari 20 pertanyaan yang dibuat panelis.

Saya menduga, berdasarkan pernyataan Ketua KPU bahwa debat tidak ditujukan untuk “mempermalukan”, pertanyaan Paslon kepada lawannya dibatasi pada 20 soal yang dibuat panelis. Ini, menutup kemungkinan Paslon untuk bertanya “aneh-aneh” yang sifatnya menjebak seperti soal singkatan TPID yang dilontarkan Jokowi pada Prabowo saat debat Capres tahun 2014.

Jadi maaf, dalam soal ini saya kurang setuju pada interpretasi yang menyebut bahwa statemen Ketua KPU soal : menjaga kehormatan” itu adalah untuk menjaga kredibilitas petahana. Konteksnya tidak seperti itu.

Tetap Layak

Dari penjelasan Margarito itu, saya kok berfikir bahwa debat Capres tanggal 17 Januari nanti akan tetap layak tonton karena masih mengandung unsur dramatik sebagai prasyarat sebuah tontonan televisi yang menarik.

Dalam debat itu, saya memprediksi, masih akan ada unsur kejutan dan akan ada Paslon yang keteteran mencari-cari “contekan”. jawaban yang sudah disiapkan oleh tim kampanye.

Karenanya, kembali saya menegaskan bahwa, pembocoran pertanyaan debat oleh KPU tidaklah membuat proses debat menjadi mudah bagi para Paslon, jika Paslon tidak menguasai persoalan yang diperdebatkan. Ada 20 soal untuk empat topik yang dibuat panelis yang artinya, akan ada 20 “contekan” dengan beragam topik yang dibuat tim kampanye.

Saya kira, jika masing-masing Paslon membagi pada pasangan masing-masing dua tema dengan 10 jawaban, dengan tingkat kesibukan masing-masing, akan susah jika jawaban-jawaban itu dihapal.

Kembali pada pernyataan Rocky Gerung, tokoh idola saya saat ini, “Visi itu adanya di otak, bukan di teks.” Jika Paslon tidak memiliki jawaban-jawaban tematik di otaknya, maka teks tidak akan banyak mampu juga menolong penampilannya dalam debat.

Terakhir, buat para pengamat yang kecewa pada format debat ini karena tidak sesuai dengan format debat Capres di Amerika, saya ingin mengatakan bahwa ini memang bukan Amerika.

Jangankan soal teknis debat, format pilihan sistem ketatanegaraan saja, menurut Prof Jimly Asshiddiqie dalam sebuah acara di lembaga pengkajian MPR tempat saya berkiprah, adalah pilihan politik sebuah bangsa yang tidak bisa dinilai baik-buruknya dengan ukuran bangsa lain. Tabik.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY