Mari Kita Shalat

Mari Kita Shalat

1007
0
SHARE
Shalat Tetap Khusu Meski Dikepung Hamparan Karang Terjal Pantai Garut Selatan.

Jumat , 11 August 2017, 13:58 WIB

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Oleh: Ahmad Rifai

Fotografer : John Doddy Hidayat.

Shalat Tetap Khusu Meski Dikepung Hamparan Karang Terjal Pantai Garut Selatan.
Shalat Tetap Khusu Meski Dikepung Hamparan Karang Terjal Pantai Garut Selatan.

Khusyuk sehingga bisa merasakan lezatnya shalat merupakan anugerah sekaligus harapan setiap Muslim. Ia adalah kenikmatan yang tak mungkin disandingkan dengan kenikmatan apa pun di dunia ini.

Wajar saja jika Rasulullah SAW betah berlama-lama dalam menjalankan shalat. Diriwayatkan dalam hadis yang sahih bahwa Rasulullah SAW pernah membaca surah al-Baqarah, an-Nisa, dan Ali Imran dalam satu rakaat. Beliau juga sering berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal istirahatkanlah aku dengan shalat!”

Idealnya, menjalankan shalat bukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Namun, fungsi shalat yang paling esensial adalah sebagai ajang untuk mengais ketenangan hati dan membuang segala kepenatan hidup. Ia tak ubahnya mata air yang siap menyirami hati yang sedang gersang. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, “Dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.” (HR an-Nasai, dihasankan oleh Syekh Muqbil).

Sahabat pun demikian. Mereka pun adalah sosok yang selalu merasakan kenikamatan tiap kali melaksanakan ibadah. Rasa sakit di tubuh pun bisa lenyap seketika dengan shalat. Pernah salah seorang sahabat tertusuk anak panah. Untuk mencabutnya tentulah akan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat. Untuk mengusir sakit itu, sahabat ini meminta agar dicabut pada saat shalat. Betapa nikmatnya shalat sahabat ini sehingga sakitnya pun menjadi tak terasa.

Kepenatan hidup dapat segera dijinakkan melalui shalat yang berkualitas. Secara materi, sebagian besar sahabat bukanlah orang kaya. Pada umumnya justru orang-orang yang sangat sederhana. Meski demikian, keberkahan dan kebahagian hidup bisa mereka rasakan.

Menjelang wafat, Muadz bin Jabal RA menangis. Ia menangis bukan karena kenikamatan dunia yang akan ditinggalkannya. Ia menangis tatkala bernostalgia dengan amalan-amalan ibadah yang pernah dijalaninya. “Aku menangis karena aku tak akan merasakan lagi rasa dahaga (orang-orang yang berpuasa) ketika hari sangat panas, bangun malam untuk melaksanakan shalat di musim dingin dan berdekatan dengan orang-orang yang berilmu saat bersimpuh di halaqah zikir,” ujar Muadz menjelaskan penyebab kepiluannya.

Nikmat dalam beribadah adalah buah dari ibadah yang berkualitas. Tak ada yang bisa mencapainya kecuali orang-orang yang khusyuk. Allah SWT berfirman, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”

Untuk meraih kekhusyukan ada beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, meninggalkan banyak makan, minum, berbicara, dan memandang tanpa ada keperluan. Berlebihan dalam makan dan minum merupakan celah masuknya setan.

Berkata Ibrahim bin Adham, “Siapa yang mengikat perutnya, maka ia telah mengikat agamanya. Dan siapa yang menguasai rasa laparnya, maka ia akan memiliki budi pekerti yang luhur. Dan sesungguhnya maksiat itu sangat jauh dari orang-orang yang lapar dan sangat dekat kepada orang-orang yang kenyang.”

Kedua, menjauhkan diri dari perbuatan dosa kecil, terlebih lagi dosa yang besar. Sufyan Atsauri berkata, “Aku terhalang dari melaksanakan shalat malam karena satu dosa yang kuperbuat.” Semoga Allah mengaruniakan kelezatan dan kekhusyukan dalam shalat. Amin.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY